Welcome to My Blog........

Kami akan membantu anda untuk menjadi orang sukses, trust it..!!!

Jumat, 30 Desember 2011

EKSISTENSI HADITS PADA ABAD KE VII H


PEMBAHASAN
A.                 EKSISTENSI HADITS PADA ABAD KE VII H
Periode ini disebut dengan ‘Ahd asy-Syarh wa al-jam’ wa at-Takhrij atau periode pensyarahan, penghimpunan, pengtakhrij-an dan pembahasan.Masa dimulai dari saat jatuhnya kota bagdad dimasa dinasti abbasiyah oleh tentara khulaghu khan hingga sekarang.
Perlu diketahui bersama bahwa pada tahun 656 H, pemeritahan Abbasiyah pindah ke tangan bangsa turki dengan pusat pemerintahannya pindah ke kairo, mesir, kemudian pada akhir abad ke-VII , semua daerah islam dapat dikuasainya kecuali daerah barat maroko, bahkan pertengahan abad ke – IX H berhasil merebut kota Constantinopel dan mesir, dan sejak itulah raja turki menggunakan sebutan khalifah.
Akan tetapi imperialisme politik divide et empire menaklukan Islam, umat islam menjadi budak , sehingga membuat umat islam minder, bahkan para ulama’ tidak dapat bebas melakukan komunikasi dengan lain.
Berhubungan dengan situasi dengan kondisi seperti itu, penyampaian ajaran nabi SAW tidak dapat dilakukan secara langsung dengan lisan, sehingga sistem “surat menyurat” dan “ijazah “ dipakai oleh mereka, akibatnya kegiatan penelitian terhadap perowi hadits terhenti.
Sekalipun demikian, masih saja ditemukan ulama’ yang berani berkunjung berbagai daerah untuk mendekte hadist(Imla’ Al- Hadist) dengan cara duduk di dalam masjid disetiap hari jum’ah, lalu menguraikan hadist tentang nilai dan kandungan sanatnya kepada para jama’ah dan para jama’ah mencatatnya, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin al- iraqi (w 806 H), Ibnu Hajar (w 858 H), al – Syakhawi (murid Ibnu Hajar).
Adapundaerah – daerah yang menjadi pusat pengalian hadist, dan dikenal dengan sebutan dar al- Hadist saat itu adalah :
a.       Mesir
Selama tiga abad (abad VII- X H) Mesir dikenal dengan sebutan dar al- Hadist wa al- fiqh wa al- lughah atau Negara pusat perkembangan hadist, fiqh dan bahasa, sebab kegiatan ini  mendapat dukungan kuat dari penguasa yaitu, raja al- dhahir al- barquqi dan al- muayyad. Sedang ulama’ yang ahli dalam bidang hadist adalah imam al- bulqimi dan syamsuddin al- darimi penyusun kitab al- masail al- syarifah fi adillah mazhab al- imam abu Hanifah.     
b.      India
Pertengahan abad ke- X, ulama’ indiah menaruh perhatian besar terhadap hadis dengan mempelajari ilmu- ilmu hadist, meneliti pribadi – pribadi para perowi hadist beserta nilai hadistnya. Dari kegiatan ini, banyak bermunculan karya- karya tulis berupa syarah dan kritikan- kritikan hadist dan sanad yang telah ada didalam kitab kutub al- sittah dan kitab-kitab lainnya, bahkan mereka dapat menghimpun kitab- kitab hadist hukum beserta kritikan- kritikan pada sanadnya dengan menjelaskan cacat yang tersembunyi pada beberapa hadist yang ada.
c.       Saudi Arabiyyah
Dengan dukungan raja Abdul Aziz al- su’udiy beserta pengusa lain dari kekuasaan raja, kitab- kitab hadist dapat diterbitkan dan untuk penyebarannya didirikanlah Fakultas Syari’ah dimakah dan madinah serta Fakultas Sastra di Riyadl. Sedang kitab- kitab yang diterbitkan saat itu adalah:
*      Jaami’ul ushuuli laa haditsi ar-rasuuli karya Ibno al-Atsir al-Jazri.
*      Raaddul ma’adii Karya Ibnu al-Qayyim
*      Alfaatawa Karya Ibnu Taimiyyah
*      Attafsir Karya Ibnu Katsir
Adapun karya ilmiyah dibidang hadist yang dapat diwujudkan di masa ini adalah kitab – kitab sbb :
a)      Kitab Al – Zawaid yaitu pengarang menghimpun hadist – hadist yang sudah ada didalam kitab tertentu dalam satu karangan dan hadist – hadist tersebut tidak ada dalam kitab lain, seperti :
Ø  Zawaid sunan Ibnu Majjah alakutub al- khamsah, karya Syihab al – Din Ahmad al- Busyiriy (wafat pada tahun 812 H)
Ø  Zawaid Musnad Ahmad ‘ala al – Kutub al – Sittah, karya Nuruddin Abu Hasan al- Haitami (wafat pada tahun 807 H).
b)      Kitab Al- Jami’ yaitu menghimpun hadist dari beberapa kitab dalam satu karya tulis :
Ø  Kitab himpunan yang isinya campuran, baik bidang hukum maupun lainnya, yaitu Al- Jami’  al- Shaggir karya al- Syuyuti (w 911 H).
Ø  Kitab khusus sesuai dengan lainnya seoperti bidang hukum yaitu : Ibnu Hajar dengan bulugh al- marom kemudian di syarahi oleh al – Shun’ani dengan judul : Subul al – Salam dan kitam Ibanah al- Ahkam, syarah bulugh al- marom karya ‘Alwi Abbas al – Maliki.   

c)      Kitab al- Takhrij yaitu menghimpun hadist – hadist yang sudah ada dalam kitab – kitab Fiqih, Tafsir dan lainnya, lalu melakukan penelitian dan mencari sumber sanatnya dengan memberi penilaian pada hadistnya seperti Zainuddin al – ‘iraqiy dengan karyanya berjudul Takhrij ahadist al- ihya’ li al- ghozali.
d)      Kitab al- athraf seperti zainuddin al- ‘iraqiy dengan karyanya berjudul athraf shahih Ibnu Hibban .
B.     Periode Mengklasifikasikan dan Mensistematiskan Susunan kitab- kitab Hadist
Usaha ulama’ ahli hadist pada abad ke- V dan seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan Al- Hadist dengan menghimpun hadist – hadist yang sejenis kandunganya atau sejenis sifat – sifat isinya dalm suatu kitab hadist. Selain itu mereka juga mensyarahkan dan mengikhtisarkan kitab – kitab hadist yang telah disusun oleh ulama’ yang mendahuluinya.oleh karna demikian, lahirlah kitab- kitab hadist hokum semisal :
v  Sunanu’ l- Kubra. Karya Abu Bakar Ahmad bin Husain ‘Ali Al- Baihaqy (384-458 H.).
v  Muntaqa’ l- Akhbar, karya Majdudin al- Harrany (wafat tahun 652 H.).
v  Nailu’l – Authar, sebagai syarah kitab muntaqa’ l- Akhbar, karya Muhammad bin ‘Ali As- Syaukaniy (1172- 1750 H.).
Kitab- kitab hadist targhib wat- tarhib seperti :
Ø  At- Targhib wa’ t- Tarhib karya imam, Zakiyu’ddin ‘ab-du’l-‘Adhin Al- Mundziry (Meninggal tahun 656 H.).
Ø  Dalilu’l- Falihin, Karya Muhammad Ibnu ‘Allan As- Shiddiqy (Meninggal tahun 1057 H.). Sebagai syarah kitab Riyadhu’sh-Shalihin, karya Imam Muhyiddin Abi Zakariyah An- Nawawy (wafat tahun 676 H.).
Selanjutnya bangkit ulama’ hadist yang berusaha menciptakan kamus hadist untuk mencari pentakhrij suatu hadist untuk menggetahui dari kitab haadist apa suatu hadist didapatkan, misalnya kitab :
ü  Al- Jmi’us Shogir Fi ‘Ahadisti’l- Basyirin- Nadhir, karya imam Jamaluddin As- syuyuti,
ü  Dakha-iru’l- Mawarits fi’d-dalalati’ala Mawadhi’il-ahadits, karya al-‘alamah As-Sayyid Abdul Ghani Al-Maqdisy An-nabulisy
ü  Al-Mu’jamu’l-Mufahras li’l al-fadhi’l-haditsi’n-nabawy, karya Dr.Winsic dan Dr,J.F Mensing, keduanya adalah dosen bahasa arab di universitas Leiden.
ü  Miftah kunuzi’-sunnah, karya Dr.Winsice.
Kegiatan Ulama’ yang lain disamping memberi pensyarahan dan peringkasan juga melahirkan kamus – kamus khusus kajian hadist yang tertua dalam salah satu disiplin keilmuan yang disebut ilmu Gharibil Hadist. Dengan demikian kajian hadist telah meliputi berbagai aspek, dari sisi sanad sampai kepada mantan hadist. Paparan ini sekaligus meluruskan tudingan miring pemikir barat bahwa ulama’ hadist hanya disibukkan meneliti sanad hadist.


SISTEM PERBANKKAN SYARI'AH


Krisis ekonomi yang bermula terjadi pada sekitar tahun 1997 telah membawa bangsa dan negara Indonesia ke dalam jurang kebinasaan. Krisis tersebut tidak hanya berdampak pada kegiatan ekonomi semata tetapi kemudian menjadi efek domino dan menjalar juga pada krisis di bidang lain. Krisis moral yang menyebabkan isu korupsi masih tetap menjadi konsumsi utama para pejabat dan pengusaha yang telah kehilangan moral mereka. Krisis akhlak yang mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa memalukan yang tidak mencerminkan budaya dan kultur bangsa Indonesia yang terefleksikan dari beredarnya puluhan bahkan ratusan video-video dan gambar-gambar foto porno yang diperankan oleh anak-anak dan generasi bangsa ini. Krisis-krisis yang sangat banyak tersebut pada akhirnya mengakibatkan Indonesia jatuh krisis multidimensi. Ilustrasi ini memberikan gambaran kebenaran ungkapan bahwa ”kefakiran (kemiskinan) akan membawa kepada kekafiran.”
Krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia tersebut secara umum dipicu oleh krisis ekonomi yang membuat bangsa ini sekarat. Diawali dengan dilikuidasinya puluhan Bank-Bank yang beroperasi di Indonesia, kasus kredit macet di beberapa Bank, dan kolusi serta korupsi dalam perBankan membuat era orde baru harus mengakhiri masa hidupnya.
Krisis perBankan tanah air tersebut membuat gejolak perekonomian di Indonesia kocar-kacir tidak karuan. Dalam situasi dan keadaan yang seperti ini, masyarakat pada akhirnya menyadari akan pentingnya mencari dan mengembangkan sistem ekonomi alternatif yang mampu mencegah terjadinya konsentrasi kekayaan di tangan segelintir kelompok orang.
Beberapa tahun kemudian, masyarakat mulai mengenal sistem perekonomian Syari’ah dan perBankan Syari’ah yang pada akhirnya menjadi sangat populer hingga sekarang. Menjamurnya Bank-Bank dan lembaga-lembaga keuangan Syari’ah lainnya di Indonesia ini pada akhirnya berkembang dan mulai banyak dimintai oleh masyarakat. Meskipun menggunakan label Syari’ah di belakangnya, di beberapa daerah tertentu perBankan Syari’ah ternyata mampu masuk dan diterima oleh kalangan non-muslim. Ilustrasi ini seolah menjadi pembenar ungkapan bahwa agama Syari’ah adalah rahmat bagi semesta alam, bukan hanya untuk kaum muslimin semata.
Melihat cukup pesatnya perkembangan perBankan Syari’ah di Indonesia tersebut pada akhirnya mendorong penulis untuk menyusun makalah ini. Melalui makalah ini penulis hendak memaparkan mengenai sistem perBankan Syari’ah, bagaimana sejarah perkembangannya, serta hambtan-hambatan dalam pengembangannya ke depan di Indonesia.
1. Pengertian Bank Syari’ah dan sejarah perkembangannya di Indonesia
a. Pengertian Bank Syari’ah
Bank Syari’ah sebenarnya di Indonesia lebih populer disebut dengan istilah Bank syariah. Adapun pengertian Bank Syari’ah adalah Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Syari’ah atau Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan al Quran dan Hadits (Antonio dan Perwataatmadja, 1999: 1). Pengertian syariah secara harfiah adalah jalan Allah seperti yang ditunjukkan oleh al Quran dan as Sunnah / Hadits.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan prinsip-prinsip syariah di dalam pengertian ini adalah prinsip-prinsip atau ketentuan mengenai hukum muamalat. Dalam ketentuan hukum muamalat, prinsip utama muamalat ekonomi atau perBankan Syari’ahi adalah menghindarkan diri dan menjauhkan diri dari unsur-unsur riba dengan menggantinya dengan sistem bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. Riba secara bahasa berarti al-ziyadah yang berarti tambahan. Sedangkan menurut istilahnya, riba dalam pandangan Prof. Abdul Manannan, Ph.D. dalam bukunya ”Teori dan Praktek Ekonomi Syari’ah” adalah perpanjangan batas waktu dan penambahan jumlah peminjaman uang sehingga berjumlah begitu besar, sehingga pada akhir jangka waktu peminjaman itu, si peminjam akan mengembalikan kepada orang yang meminjamkan sejumlah dua kali lipat atau lebih darijumlah pokok yang dipinjamkannya. Dan diantara konsep-konsep tersebut adalah konsep mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, wadiah dan lain-lain.
    1. Mudharabah yaitu perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha, dimana pihak pemilik modal menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan atas usaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan
    2. Musyarakah adalah konsep yang diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan Murabahah yaitu penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan Bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad di awal dan besarnya angsuran = harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah, 500 juta, margin Bank / keuntungan Bank 100 juta, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan nasabah
    3. Ijarah atau pure leasing adalah pemberian kesempatan kepada penyewa untuk mengambil kesempatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama (Antonio dan Perwataatmadja, 1999: 30). Sebagai contoh adalah pembiayaan mobil, pelanggan akan memasuki kontrak pertama dan memberikan harga sewa mobil tersebut pada kadar sewa yang telah dipersetujui untuk suatu tempo tertentu. Pada akhir tempo pembayaran, kontrak kedua akan dikuatkuasakan bagi pelanggan untuk membeli kendaraan tersebut pada harga yang telah dipersetujui
    4. Wadiah adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah b. Sejarah Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
b. Sejarah Perbankan Syari’ah
PerBankan Syari’ah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel Syari’ah, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Perintisnya adalah Ahmad El Najjar. Sistem pertama yang dikembangkan adalah mengambil bentuk sebuah Bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba / bagi hasil) pada tahun 1963. kemudian pada tahun ’70-an, telah berdiri setidaknya 9 Bank yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Baru kemudian berdiri Syari’ahic Development Bank pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Syari’ah, yang menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara anggotanya dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Syari’ah.
Kemudian setelah itu, secara berturut-turut berdirilah sejumlah Bank berbasis Syari’ah antara lain berdiri Dubai Syari’ahic Bank (1975), Faisal Syari’ahic Bank of Sudan (1977), Faisal Syari’ahic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Syari’ahic Bank (1979) Phillipine Amanah Bank (1973) berdasarkan dekrit presiden, dan Muslim Pilgrims Savings Corporation (1983).
Di Indonesia perBankan syariah baru muncul pertama pada tahun 1991 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank Muamalat sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. Kamudian, IDB memberikan suntikan dana sehingga pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan Bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang PerBankan serta lebih spesifiknya pada Peraturn Pemerintah N0 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Rinsip Bagi Hasil. Sampai saat ini, pada tahun 2007, terdapat setidaknya 3 institusi Bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara Bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 Bank diantaranya merupakan Bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Hanya saja, aset perBankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perBankan (ringkasan berdasarkan sumber: E-book: Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan PerBankan Syariah di Indonesia, 2002; dan Sedangkan untuk pertumbuhan asetnya, sistem perBankan Syari’ah telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sebesar 74% per tahun selama kurun waktu 1998 sampai 2002 (nominal dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi 2.718 milyar pada tahun 2001). Dana pihak ketiga telah meningkat dari Rp. 392 Milyar menjadi 1.806 milyar. (Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan PerBankan Syariah di Indonesia, 2002: 5). Volume usaha mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 64,98 % pada periode 2001-2003, bahkan pada tahun 2004 pertumbuhannya mencapai 80,56 %. Dari sisi ekspansi untuk pembiayaan meningkat sebesar 101,08 % dengan pertumbuhan dana yang dihimpun dari pihak ketiga sebesar 85,33%.
Berdasarkan perhitungan Bank Indonesia sampai akhir November 2004 rasio antara pembiayaan dan penghimpunan dana (financing to deposit ratio/FDR) mencapai 104,81 % dan ini merupakan angka tertinggi bila dibandingkan dengan semua perBankan syariah di negara-negara lain. Angka LDR (Loan Deposit Ratio) mencapai tingkat yang lebih tinggi dibanding perBankan konvensional Indonesia yang mencapai rata-rata sebesar 48 %.
  1. Realisasi Praktik Pembiayaan Bank Syari’ah Dalam Dunia Bisnis
Realisasi praktek pembiayan Bank Syari’ah dalam dunia bisnis dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan pada dasarnya hampir sama dengan konsep Bank konvensional. Bank Syari’ah sebagai sebuah Bank atau lembaga keungan menghimpun dana dari para nasabahnya dengan melalui berbagai macam produknya (deposito, tabungan, dll). Selanjutnya pihak Bank berperan sebagai kreditur menanamkan dana yang diperolehnya tersebut dalam pembiayaan-pembiayaan tertentu yang sesuai konsep syariah Syari’ah kepada nasabah debitor. Kemudian, dari hasil keuntungan yang diperoleh oleh Bank tersebut melalui pembiayaannya, laba tersebut dibagi dengan para nasabah sesuai perjanjian akad nishbah bagi hasilnya. Semakin besar perolehan laba yang diterima oleh Bank Syari’ah itu, maka semakin besar pula bagi hasil yang diterima para nasabah.
  1. Faktor-Faktor Penghambat Keberlangsungan Bank Syari’ah
Diantara faktor penghambat keberlangsungan Bank Syari’ah adalah faktor kelemahan yang terdapat di dalam Bank Syari’ah itu sendiri. Diantara faktor penghambat Bank Syari’ah yaitu:
1.      Dengan sistem Syari’ahi atau syariah, maka Bank Syari’ah terlalu berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam Bank Syari’ah adalah jujur. Dengan demikian Bank Syari’ah sangat rawan terhadap mereka yang beritikad tidak baik, sehingga diperlukan usaha tambahan untuk mengawasi nasabah yang menerima pembiayan dari Bank Syari’ah. Hal ini akan menjadi hambatan berlangsungnya Bank Syari’ah jika Bank Syari’ah itu sering kecolongan akan nasabah yang membandel dan nakal. Atau kalau tidak, maka Bank Syari’ah itu justru karena terlalu hati-hatinya memilih nasabah, maka berakibat sedikitnya keuntungan yang diperolehnya sehingga berimbas pada terhambatnya laju pertumbuhan Bank Syari’ah itu sendiri.
2.      Dengan penerapan sistem bagi hasil, maka akan lebih diperlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung bagian laba nasabah yang kecil-kecil dan yang nilai simpanannya di Bank tidak tetap. Sehingga bisa terjadi potensi salah hitung. Kesalahan hitung dalam proses rumit ini, apabila sering terjadi, maka akan membuat para nasabah lari dari Bank Syari’ah tersebut.
3.      Karena Bank Syari’ah menerapkan bagi hasil, maka Bank Syari’ah lebih memerlukan tenaga dan pikiran yang ekstra dibanding dengan Bank konvensional. Hal ini dimaksudkan agar Bank Syari’ah tidak salah dalam menilai kelayakan suatu pembiayaan tertentu. Dalam kasus ini sekali lagi, apabila Bank Syari’ah tidak pandai-pandai menilai prospek dan kelayakan pembiayaannya maka bisa berakibat kerugian terhadap pembiayaan itu dan secara otomatis berakibat kerugian pada Bank Syari’ah itu sendiri.
4.      Problematika biaya dan profitabilitas. Bank Syari’ah bekerja dengan aturan yang sangat ketat dan memilih investasi yang halal dan sesuai syariah saja. Implikasinya adalah Bank Syari’ah harus melakukan supervisi dan terkadang mengelola secara langsung operasional suatu proyek yang didanainya. Ini dilakukan untuk mereduksi pengeluaran manajerial. Akibatnya, Bank Syari’ah harus memikul biaya tambahan yang tidak pernah terdapat pada pembukuan Bank-Bank berasas bunga. Bank Syari’ah pun harus mampu meminimalisir potensi kerugian dari investasi mudarabahnya dan mengamankan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Bank-Bank riba. Hal ini menyebabkan Bank Syari’ah terdorong untuk mencari proyek yang segera memberikan keuntungan. Long gestation project (proyek dengan masa menunggu yang lama) dan proyek infrastruktur adalah proyek-proyek yang kurang menarik minat perBankan Syari’ah, dimana Bank Syari’ah harus membayar keuntungan yang besar setiap tahun terhadap simpanan (Irfan Syauqi Beik, Msc, Problematika Bank Syari’ah. 5. Minimnya sumberdaya manusia yang memahami secara komprehensif segala hal yang berkaitan dengan industri perBankan syariah. Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
5.      Belum adanya suatu Bank Sentral Syariah sebagai penyokong selaiknya Bank Indonesia yang menjadi Bank-nya lembaga-lembaga perBankan yang mampu memerankan diri seperti peran Bank Indonesia tetapi dengan prinsip Syari’ah.
6.      Belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perBankan syariah.
  1. Prinsip perbankan syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Syari’ah antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perBankan syariah antara lain:
  • Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
  • Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
  • Syari’ah tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
  • Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
  • Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam Syari’ah. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perBankan syariah.

1.      Produk perBankan syariah

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh Bank berbasis syariah antara lain:

Jasa untuk peminjam dana

  • Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
  • Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
  • Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan Bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin Bank/keuntungan Bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
  • Takaful (asuransi Syari’ah)

Jasa untuk penyimpan dana

  • Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
  • Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan Bank akan dibagikan antara Bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.