A.
Hukum ‘Ariyah
‘Ariyah berasal
dari kata ‘Aara yang berarti pergi dan datang kembali dengan cepat. Sedangkan
menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat, diantaranya:
1.
Menurut Hanafiyah, ariyah ialah: “Memiliki
manfaat secara Cuma-Cuma.”
2.
Menurut Malikiyah, ariyah ialah: “Memiliki
manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.”
3.
Menurut Syafi’iyah, ariyah adalah: “Kebolehan
mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya yang mungkin untuk
dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada
pemiliknya.”
4.
Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:“kebolehan
memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5.
Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat
barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di
ganti.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat
suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis).
B.
Dasar Hukum ‘Ariyah:
Menurut Sayyid
Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani,
sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal
islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah: “Dan
tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu
tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”( Terjemahan Al-Maidah:2). Selain
dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, yang artinya:“barang
peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”(Riwayat Abu Daud).
Pada dasarnya, hukum ‘ariyah
adalah sunnah. Hukum ‘ariyah terkadang bisa menjadi wajib, seperti meminjamkan
pakaian agar tidak terkena sengatan panas dan dingin, meminjamkan sesuatu yang
bisa menyelamatkan orang dari tenggelam, seperti tali ataupun yang lainnya,
meminjamkan pisau untuk menyembelih hewan yang bisa dimakan yang mana hewan
tersebut akan segera mati jika tidak langsung disembelih. Terkadang hukum
‘ariyah tersebut bisa menjadi makruh, seperti meminjamkan budak islam kepada
orang kafir. ‘ariyah terkadang dihukumi mubah, seperti meminjamkan sesuatu
kepada orang yang tidak terlalu membutuhkan terhadap barang yang dipinjam.
Dalam bab ‘ariyah terdapat empat rukun, diantaranya:
Ø Mu’ir (orang yang memberi pinjaman), dengan syarat orang tersebut
meminjamkan barangnya tidak merasa terpaksa atau meminjami dengan sukarela.
Ø Musta’ir (orang yang meminjam), dengan syarat orang yang meminjam
harus jelas
Ø Mu’ar (barang yang dipinjamkan), dengan syarat barang tersebut
harus halal diambil manfaatnya serta barang tersebut keadaannya tetap dan tidak
mudah rusak. Jika seseorang meminjam sesuatu dan ia tidak menjelaskan barang
yang akan dipinjam, seperti “Pinjamkanlah kepadaku seekor hewan”, kemudian
orang yang memberi pinjaman mengatakan kepada orang tersebut “Masuklah ke dalam
kandang dan ambillah sesukamu”, maka hukum ‘ariyah dalam hal tersebut dianggap
sah.
Ø Adanya sighot (baik secara lafad maupun tulisan) dengan niat
ataupun isyarat yang menunjukkan perizinan untuk mengambil manfaat dari barang
yang akan dipinjam tersebut. Seperti “ Saya meminjamkan ini kepadamu ” atau “
Saya perbolehkan kamu mengambil manfaat dari barang ini ” atau
“ Kendarailah ini ” atau “ Ambillah manfaat dari benda ini “.
Perlu diketahui
bahwa orang yang meminjam suatu barang pada orang lain itu tidak diperbolehkan
meminjamkan barang tersebut kepada orang lain tanpa seizin mu’ir (orang yang
memberi pinjaman).
Orang yang
meminjam itu wajib menanggung kerusakan yang terdapat pada mu’ar (barang yang
dipinjam) jika terjadi kerusakan. Baik dengan cara mengganti harga barang
tersebut ataupun dengan cara yang lain. Adapun syarat kerusakan yang harus
ditanggung itu hendaknya kerusakan barang tersebut tidak digunakan dengan
semestinya, jika kerusakan tersebut terjadi ketika orang yang meminjam
menggunakan barang dengan semestinya, maka orang itu tidak wajib menanggung
kerusakan yang terjadi.
Diperbolehkan bagi
orang yang meminjam maupun orang yang memberi pinjaman melakukan pencabutan
kembali pada akad ‘ariyah, baik yang mutlak maupun yang dibatasi masa (waktu).
Jika ada seseorang meminjam tanah untuk mengubur mayat (selain mayat orang yang
murtad dan kafir harby), ketika si mayat sudah diletakkan di dalam liang lahat,
maka bagi musta’ir ataupun mu’ir boleh melakukan pencabutan akad dalam hal
‘ariyah tersebut, dengan syarat si mayat belum ditimbuni dengan tanah, Jika si
mayat sudah ditimbuni dengan tanah hingga setelah hancur tubuhnya, maka tidak
diperbolehkan melakukan pencabutan akad (‘ariyah).
Suatu
permasalahan, apabila ada seseorang meminjam tanah untuk ditanami atau
didirikan bangunan di atasnya, maka hal itu hanya boleh dilakukan sekali, jika
bangunan itu sudah dibongkar atau tanaman itu telah hilang, maka orang yang
meminjam tidak berhak membangun dan menanami untuk kedua kalinya, kecuali
setelah ia mendapatkan izin baru untuk hal itu, ataupun telah ia jelaskan terlebih
dahulu bahwa ia akan melakukan untuk kedua kalinya.
C.
Bab Ghasab
Ghasab
ialah menguasai atau mengambil hak orang lain secara dholim. Hal itu bisa
terjadi meskipun berupa mengambil kemanfaatan, seperti menyuruh berdiri orang
yang sedang duduk di masjid atau di pasar, duduk diatas tikar seseorang tanpa
memindah ke tempat lain, menaiki binatang orang lain tanpa seizin orang yang
mempunyainya, memerintah budak milik orang lain, dan lain-lain. Ghasab itu
termasuk dosa besar. Adapun dalil yang melarang perbuatan ghasab yaitu:
- Surat An Nisa ayat 29
يَأيهَا
الذِينَ آمَنُوا لاَ تَأكُلُوا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالبَاطِلِ إلاَّ أنْ
تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُم وَلاَ تَقْتُلوُا أنْفُسَكُم إنّ الله
كَانَ بِكُم رَحِيمًا
Hai
orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.
2.
Sabda
Rasulullah
Harta
seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati
pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik).
Wajib bagi orang yang mengghasab untuk
mengembalikan barang yang dighasab dan menanggung barang yang mutamawwal (bisa
dihargai) yang rusak dengan perhitungan harga tertinggi sejak waktu ghasab
sampai rusaknya barang yang dighasab. Adapun harganya disesuaikan dengan mata
uang Negara yang berlaku (di tempat terjadinya kerusakan).
Barang
mitsly itu itu ditanggung dengan mengembalikan barang yang sepadan, di manapun
tempatnya barang itu berada. Barang mitsly ialah barang yang bisa diukur dengan
menggunakan timbangan atau takaran dan bisa dipergunakan sebagai barang
pesanan, seperti kapas, tepung, air, minyak misik, tembaga, dirham, dinar, buah
kurma, biji-bijian yang kering dan lain-lain. Jika tidak terdapat barang yang
sepadan dan barang tersebut, maka bisa di tanggung dengan harga
tertingginyayang pernah terjadi sejak ghasab hingga waktu di mana barang tersebut
tidak bias didapatkan.
Orang yang
mengghasab menjadi bebas jika ia telah mengembalikan barang yang telah di
ghasab kepada pemiliknya. Adapun cara pengembaliannya yaitu cukup dengan
meletakkan barang yang dighasab di sebelah pemiliknya (di tempat semula), jika
orang yang mengghasab tidak mengetahui ataupun lupa pemilik barang yang
dighasab, maka ia bisa menyerahkan barang itu kepada qodhi ( hakim ).
D. Hukuman
Orang yang Ghasab:
- Ia berdoasa jika ia mengtehui
bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain.
- Jika barang tersebut masih utuh,
maka wajib dikembalikan.
- Apabila barang tersebut hilang
atau rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.
Adapun
ukuran denda itu terdapat beberapa pendapat, diantaranya:
ü Mazhab Hanafi dan Maliki: Denda dilakukan dengan barang yang sesuai
atau sama dengan barang yang dighasab. Apabila jenis barang yang sama tidak ada
maka dikenakan denda seharga benda tersebut ketika dilakukan ghasab.
ü Mazhab Syafi’i: Denda disesuaikan dengan harga yang tertinggi.
ü Mazhab Hanbali: Denda disesuaikan dengan harga ketika jenis benda
itu tidak ada lagi di pasaran.
Terjadi
perbedaan pendapat tentang apakah benda yang telah
dibayarkan dendanya itu menjadi milik orang yang menggasabnya ataukah masih
menjadi pemilik asal dari benda tersebut:
- Mazhab Hanafi: orang yang
menggasab berhak atas benda itu sejak ia melakukannya sampai ia membayar
denda.
- Mazhab Syafii dan Hanbali: orang
yang menggasab tidak berhak atas benda yang yang digasabnya walaupun sudah
membayar denda.
- Mazhab Maliki: orang yang
mengasab tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi
jika telah rusak, maka setelah denda dibayar benda itu menjadi
miliknya dan ia bebas untuk memanfaatkannya.
E. Pengertian Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab. Kata ( hibah)
adalah dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti
memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup
tanpa meminta ganti. Secara etimologis berarti melewatkan atau
menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang
memberi kepada tangan orang yang diberi.
F. Dasar
Hukum Hibah
Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani
hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari
hadits Khalid bin ''Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai
berikut :
"Barangsiapa
mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan
meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia
adalah rezeki yang diberi Allah kepadanya".
G. Ruju' di dalam Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa ruju’ di dalam hibah itu haram, sekalipun
hibah itu terjadi di antara saudara atau suami isteri, kecuali bila hibah itu
hibah dari orang tua kepada anaknya, maka ruju’nya
diperbolehkan berdasarkan hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi dan dia
mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi shahih.
Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua kepada anaknya Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali”.
"Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua kepada anaknya Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali”.
H. Rukun
Dan Syarat Sahnya Hibah
Rukun adalah unsur persyaratan yang wajib
terpenuhi dalam sebuah kegiatan (ibadah).Rukun hibah adalah sebagai berikut :
- Penghibah , yaitu orang yang memberi hibah
- Penerima hibah yaitu orang yang menerima pemberian
- Benda yang dihibahkan
- Ijab dan kabul.
Syarat - syarat yang harus dipenuhi agar suatu
hibah sah adalah :
- Syarat-syarat bagi penghibah
a) Barang yang dihibahkan adalah milik si
penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
b) Penghibah
bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.
c) Penghibah
adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
d) Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.
Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit,
yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut
sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang
ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut
dipandang tidak sah.
2. Syarat-syarat penerima hibah
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah
dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut
(penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak,
kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah,
walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian
memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.
3. Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a) Benda tersebut benar-benar ada.
b) Benda tersebut mempunyai nilai.
c) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan
pemilikannya dapat dialihkan.
d) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada
penerima hibah.
4. Ijab Qabul
Adapun
mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam
bentuk lisan atau tulisan. Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab
tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata :
"Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab
: "Aku terima hibahmu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar