Welcome to My Blog........

Kami akan membantu anda untuk menjadi orang sukses, trust it..!!!

Kamis, 29 Desember 2011

Qowaidul Fiqhiyah ( bag. 1) 1. Makna “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”



Dalam Qawa’id al-Khamsah ada salah satu kaidah yang berbunyi “al-Yaqinu la yuzalu bissyakki”. Secara harfiah kaidah fiqh ini berarti “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”. Ungkapan dalam kaidah ini ambigu sehingga bila tidak dijelaskan dengan contoh yang tepat bisa berpotensi untuk salah arti.

            Sebenarnya kaidah fiqh hanyalah kesimpulan general para ulama fiqh yang diambil dari materi fiqh yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang muncul belakangan dan belum jelas hukumnya dalam nash. Tentunya kaidah fiqh tidak bertentangan dengan nash karena sudah melalui uji kesesuaian dengan substansi ayat-ayat Quran dan hadits nabi, sebelum menjadi kaidah fiqh yang mapan, kendatipun untuk kasus-kasus tertentu ada pengecualian.

             Kaidah “al-Yaqinu la yuzalu bissyakki” (Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan) juga begitu halnya, tidak bertentangan dengan nash, bila dirujuk pada beberapa hadits nabi akan terlihat kesesuaian.
Saya mendapatkan beberapa mahasiswa salah dalam memahami kaidah ini. Ketika saya ajukan pertanyaan yang saya ambil dari sebuah hadits tentang keraguan apakah sudah kentut dalam shalat, jawaban si mahasiswa adalah: “Bila anda ragu ketika sedang sholat apakah sudah buang angin (kentut) atau tidak, maka sebaiknya anda hentikan sholat anda dan berwudhu’lah kembali untuk mengulangi sholat. Karena dari pada anda melanjutkan sholat yang meragukan lebih baik tinggalkan dan mengerjakan sholat sekali lagi yang tidak meragukan. Sesuai dengan hadits “tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu”, dan sesuai dengan kaidah “keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”.
Sekilas, jawaban si mahasiswa terasa sudah benar. Padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kaidah “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”. Kaidah ini justru menghendaki agar kita tidak perlu menghentikan sholat karena yang harus kita pedomani adalah keadaan awal kita suci, ada pun keraguan yang datang belakangan sebaiknya diabaikan selama tidak ada yang bisa memastikan bahwa kita memang sudah tidak suci. Kaidah ini sama dengan konsep “praduga tak bersalah”. Selama tidak ada bukti yang pasti yang menunjukkan bahwa kita “kentut”, maka kita tidak bisa menaikkan posisi “ragu sudah kentut” menjadi “pasti sudah kentut”. Sesuai dengan apa yang disabdakan nabi, “Apabila seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian ragu apakah sesuatu telah keluar dari perutnya atau belum, maka orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid sampai ia mendengar bunyinya atau mencium baunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

             Jawaban mahasiswa tadi menyadarkan saya bahwa kita banyak dipengaruhi oleh sikap Imam Syafi’I yang hati-hati dalam masalah ibadah. Memang dalam ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin, sedangkan kepastian dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan kehati-hatian. Ulama Malikiyah mengatakan,”Seseorang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan melaksanakannya secara benar dan meyakinkan. Shalat yang sah hanya apabila didahului dengan wudhu yang sah, bukan dengan wudhu yang diragukan apakah sah atau tidak”. Dilihat dari sisi kehati-hatian Imam Syafi’I ini maka saya tidak bisa menyalahkan sikap mahasiswa saya tersebut walaupun dalam memahami kaidah fiqh tadi saya anggap masih belum tepat.
Contoh yang sering dipakai untuk kaidah ini biasanya adalah masalah keraguan tentang jumlah rakaat shalat. Apabila ragu apakah sudah shalat 3 atau 4 rakaat maka hilangkan keraguan dan berpedoman pada apa yang meyakinkan. Dalam hal ini 3 rakaat adalah hal yang meyakinkan dan 4 rakaat adalah meragukan. Logikanya apabila anda ragu apakah sudah sholat 4 rakaat, tentunya anda pasti sudah sholat 3 rakaat. Tidak akan mungkin terjadi sebaliknya, anda ragu sudah sholat 3 rakaat tapi yakin sudah sholat 4 rakaat. Sesuai dengan hadits nabi,” Apabila seseorang ragu mengerjakan shalat, dia lupa berapa rakaat dia telah melakukannya, apakah 3 atau 4 rakaat, maka hilangkanlah keraguannya dan tetaplah dengan apa yang dia yakini.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).

           Sayangnya contoh masalah keraguan jumlah rakaat sholat ini juga berpotensi untuk disalahpahami. Mahasiswa bukannya memahami masalah yang lebih mendasar tentang mana yang meragukan dan mana yang meyakinkan tapi malah justru terjebak dengan masalah kehati-hatian. Berkeyakinan pada 3 rakaat kesannya adalah lebih hati-hati ketimbang memilih 4 rakaat. Memang perkara yakin-ragu dengan kehati-hatian sangat dekat, tapi ada perbedaannya.

           Untuk menghindari kesalahpahaman tadi, maka sebaiknya jangan hanya melihat contoh dalam masalah ibadah saja tapi lihat juga contoh dalam masalah kehidupan yang lain. Contoh dalam masalah hutang piutang bisa juga dipakai. Apabila si A mengklaim bahwa si B berhutang padanya namun disangkal oleh si B maka yang benar adalah perkataan si B. Karena yang pasti, tentunya tidak ada orang yang berhutang sampai ada hal yang meyakinkan bahwa dia memang berhutang.
Contoh lain, saya menuduh si A telah menjatuhkan laptop saya yang kemudian tuduhan ini disangkal oleh si A, maka yang benar adalah perkataan si A. Karena pada asalnya tidak ada orang yang menjatuhkan laptop saya, kecuali ada bukti yang menunjukkan si A menjatuhkan laptop saya.

Dengan memberikan contoh-contoh seperti ini diharapkan mahasiswa bisa lebih mengerti tentang “al-Yaqinu la yuzalu bissyakki”

2.      Menurt pendapat lain
اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil kata kata bahasa Arab يَقَنَ الْمَاءُ فِي الْحَوْضِ : yang artinya air itu tenang dikolam
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ

Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang itu bertingkat tingkat, yaitu:
  • اليَقِيْنُ: keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
  • الظَنُّ : persangkaan kuat
    Contoh : apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah harom, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang dinamakan dengan
    الظَنُّ
  • الشَكُّ: Keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satu diantara keduanya
  • الوَهْمُ : Persangkaan lemah
    Contoh : Pada kasus
    الظَنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ
Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali , maka itulah kebodohan (الجَهْل) dan ia terbagi menjadi dua macam :
  • الجَهْلُ الْبَسِيْطُ (Kebodohan yang ringan ) yaitu orang yang tidak tahu namun dia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui
  • الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ (kebodohan berat) yaitu orang yang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahui.
(Lihat Syarah Al Ushul min Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin hal : 69)
Jadi makna kaedah diatas adalah :
“Bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga, dalam artian tidak bisa dihilangkan hanya sekedar dengan sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah terjadi kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.”
(Lihat Al Madkhol Al Fiqhi oleh Mushthofa Az Zarqo hal : 961, Al Wajiz fi Idlohi Qowa’id Fiqhil Kulliyah oleh DR. Al Burnu hal : 169)

Dalil Kaedah

Kaedah ini terambil dari pemahaman banyak ayat dan hadits Rosululloh, diantaranya :
Firman Alloh Ta’ala :

وَمَايَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”
(QS. Yunus : 36)
Hadits Rosululloh :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”
(HR. Muslim : 362)
Imam Nawawi berkata:
“Hadits ini adalah salah satu pokok islam dan sebuah kaedah yang besar dalam masalah fiqh, yaitu bahwa segala sesuatu itu dihukumi bahwa dia tetap pada hukum asalnya sehingga diyakini ada yang bertentangan dengannya, dan tidak membahayakan baginya sebuah keraguan yang muncul.”
(Lihat Syarah Shohih Muslim 4/39)

عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Dari Abbad bin Tamim dari pamannya berkata : “Bahwasannya ada seseorang yang mengadu kepada Rosululloh bahwa dia merasakan seakan-akan kentut dalam sholatnya. Maka Rosululloh bersabda : “Janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”
(HR. Bukhori : 137, Muslim : 361)
Imam Al Khothobi berkata:
“Hadits ini menunjukkan bahwa keraguan tidak bisa mengalahkan sesuatu yang yakin.”
(Lihat Ma’alimus Sunan 1/129)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rokaatkah dia mengerkakan sholat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakini kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu sholat lima rokaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan sholatnya, dan jikalau ternyata sholatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.”
(HR. Muslim : 571)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

Dari Abdur Rohman bin Auf berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat satu atau dua rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin apakah sudah sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat dua rokaat, begitu pula apabila dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat tiga ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia baru sholat tiga rokaat, lalu setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.”
(HR. Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

Dari Abdulloh bin Umar berkata : “ Rosululloh bersabda : “Janganlah kalian puasa sehingga kalian melihat hilal Romadhon, juga janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika hilal itu tertutupi mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.”
(HR. Nasa’i 2122 dan lainnya dengan sanad shohih)
Tatkala mengomentari hadits yang mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid berkata:
“Bahwa sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan, namun hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh memerintahkan manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinan tentang keberadan mereka masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan yang ditandai dengan melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan bulan tiga puluh hari.”

Kedudukan Kaedah

Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam islam, baik yang berhubungan dengan fiqh maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’ menyatakan bahwa kaedah ini mencakup tiga perempat masalah fiqh atau mungkin malah lebih. (Lihat Al Asybah wan Nadlo’ir oleh Imam As Suyuthi hal : 51)
Imam Nawawi berkata :
“Kaedah ini adalah adalah sebuah kaedah pokok yang mencakup semua permasalahan,dan tidak keluar darinya kecuali beberapa masalah saja.”
(Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab 1/205)
Imam Ibnu Abdil Bar berkata :
“Para ulama’ telah sepakat bahwa bahwa orang yang sudah hadats lalu dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? bahwasannya keraguannya ini tidak berfungsi sama sekali, dan dia wajib untuk berwudlu kembali. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan itu tidak digunakan menurut para ulama’ dan yang dijadikan patokan adalah sesuatu yang meyakinkan. Ini adalah sebuah dasar pokok dalam permasalahan fiqh.”
(Lihat At Tamhid 5/18, 25, 27)
Imam Al Qorrofi berkata:
“Ini adalah sebuah kaedah yang disepakati oleh para ulama’, bahwasanya sesuatu yang meragukan dianggap seperti tidak ada.”
(Al Furuq 1/111)
Imam Ibnu Najjar berkata :
“Kaedah ini tidak hanya berlaku dalam masalah fiqh saja, bahkan bisa dijadikan dalil bahwasanya semua perkara yang baru itu pada dasarnya dihukumi tidak ada sampai diyakini keberadaannya, sehingga bisa kita katakan bahwa pada dasarnya orang itu tidak diberi beban syar’i sehingga datang dalil yang berbeda dengan pokok ini, pada dasaranya sebuah perkataan itu dibawa pada hakekat maknanya, pada dasarnya sebuah perintah itu menunjukan pada sebuah kewajiban dan sebuah larangan itu menunjukan pada keharaman serta masalah lainnya.”
(Lihat Syarah al Kaukab al Munir 4/443)

Penerapan Kaedah

Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa kaedah ini mencakup hampir semua permasalahan syar’i, maka cukup disini disebutkan sebagainnya saja sebagai sebuah contoh :
  • Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudlu, lalu ragu ragu apakah dia sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib berwudlu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudlu, sedang batalnya masih diragukan.
  • Dan begitu pula sebailknya, apabila orang yakin bahwa dia telah batal wudlunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? maka dia wajib wudlu lagi karena yang yakin sekarang adalah batalnya wudlu.
  • Barang siapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
  • Barang siapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek atau berlumpur yang ada kemungkinan bahwa air itu najis, maka tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
  • Barang siapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnya tetap sah dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
  • Orang yang pergi meninggakan kampung halaman dalam keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi hartanya, sehingga datang berita yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal dunia atau dihukumi oleh pihak pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
  • Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia tetap dihukumi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita meyakinkan bahwa suaminya telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
  • Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia ragu-ragu apakah dia sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya lagi kecuali kalau pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah melunasi hutang atau ada bukti kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua orang saksi yang menyatakan bahwa hutangnya telah lunas.

2 komentar:

  1. bang,
    ada rfrensi mkalah qowaid fihyah,judul tetang perbedaan ato pertentangan sesuatu mslah g' ??
    klau ada tlong krim d'email sya cz gna mmnhi tgas mkalah.
    terima kasih

    BalasHapus
  2. ya.. terima ksih atas kommentnya....

    btw.. makalahnya di buat presentasi kapan..?

    BalasHapus