Kritik Teori
Gerakan Sosial Baru
Gerakan sosial
baru (new social movements) memiliki perbedaan dengan pola dan bentuk gerakan
sosial sebelumnya (old social movements). Menurut Samir Amin gerakan sosial
lama bisa diklasifikasikan dalam dua tema. Pertama, perjuangan kelas (the theme
of class struggle) yang berbasiskan organisasi kelas pekerja industri seperti
persatuan dagang, serikat buruh, partai-partai yang mengusung ideologi sosialis
maupun komunis, juga gerakan petani dan sejenisnya. Kedua, ideologi politik
(the theme of political ideology) seperti pertarungan kanan konservatif dan
kiri reformis. Menurutnya, dalam sejarah Asia dan Afrika, tema ini tampak pada
polarisasi gerakan perjuangan mencapai kemerdekaan. Namun, kedua tema ini
tampaknya tidak efektif. Di Eropa Timur, melahirkan rezim otoriter Uni Soviet
dan di Barat dua tema ini direduksi serta dipolarisasi menjadi kanan-kiri. (
Amin, 1991:78)
Gerakan sosial
baru dipandang sebagai respon terhadap masyarakat pos-industri, di mana isu-isu
yang diusung bukan lagi mengenai redistribusi ekonomi sebagaimana yang tampak
pada gerakan sosial lama, melainkan membidik isu-isu politik identitas dan
kualitas hidup seperti gerakan lingkungan, perdamaian, perempuan dan lain
sebagainya. Demikian juga aktor penggeraknya atau partisipannya, tidak lagi terkotak
pada kelas pekerja dan petani melainkan meluas dengan melibatkan kelas menengah
seperti mahasiswa, kaum intelektual, anak muda dan lain sebagainya. (Barker,
2000:125)
Menurut Rajendra
Singh, ada empat ciri dari gerakan sosial baru, pertama, kebanyakan
gerakan sosial baru menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa
masyarakat sipil tengah meluruh; ruang sosialnya telah mengalami penciutan dan
yang ‘sosial’ dari masyarakat sipil tengah digerogoti oleh kontrol negara.
Ekspansi negara dalam panggung kontemporer ini, bersesuaian dengan ekspansi
pasar. Negara dan pasar dilihat sebagai dua institusi yang sedang menerobos
masuk ke dalam seluruh aspek kehidupan warga. Dalam ketidakberdayaan ini,
gerakan sosial baru, membangkitkan isu ‘pertahanan diri’ komunitas dan
masyarakat guna melawan meningkatnya ekspansi aparatus negara dan pasar. Kedua,
secara radikal gerakan sosial baru mengubah paradigma Marxis yang menjelaskan
konflik dan kontradiksi dalam istilah ‘kelas’ dan konflik kelas. Marxisme
memandang perjuangan sebagai perjuangan kelas dan semua bentuk pengelompokan
manusia sebagai pengelompokan kelas. Banyak perjuangan kontemporer seperti
anti-rasisme, gerakan feminis, lingkungan, bukanlah perjuangan kelas dan juga
bukan cerminan sebuah gerakan kelas. Pengelompokan mereka adalah lintas kelas. Ketiga,
karena latar belakang kelas tidak menentukan identitas aktor atau pun penopang
aksi kolektif, gerakan sosial baru, pada umumnya melibatkan politik akar
rumput, aksi-aksi akar rumput, kerap memprakarsai gerakan mikro
kelompok-kelompok kecil, membidik isu-isu lokal dengan sebuah dasar institusi
yang terbatas. Keempat, gerakan sosial baru didefinisikan dengan
pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi dan oleh heterogenitas
basis sosial mereka. (Singh, 2002)
Tulisan Nelson
A. Pichardo yang bertajuk “New Social Movements: A Critical Review”,
“menggugat” asumsi-asumsi umum mengenai perbedaan antara gerakan sosial lama
dengan gerakan sosial kontemporer. Menurutnya, ada dua ciri menonjol yang
sering dikemukakan oleh para pengamat mengenai perbedaan keduanya, yaitu pertama,
gerakan sosial baru bersifat unik, terutama kalau dilihat dari ideologi,
tujuan, taktik dan keorganisasian serta aktivisnya. Kedua, gerakan
sosial baru merupakan produk masyarakat pos-industri, di mana isu-isu yang
diusung bukan lagi mengenai redistribusi ekonomi, melainkan isu-isu politik
identitas seperti hak-hak “minoritas”, subkultur, lingkungan, perdamaian, dan
lain sebagainya.
Menguji Dua
Asumsi
Benarkah gerakan
sosial kontemporer itu unik? Apakah gerakan kontemporer itu merupakan produk
khas era pos-industri?
Untuk mengurai
yang pertama, Pichardo menelusuri secara komprehensif “citra” keunikan gerakan
sosial baru di semua aspeknya, mulai dari ideologi dan tujuannya, taktik dan strateginya,
struktur dan keorganisasiannya sampai aktivisnya. Menurut Pichardo, di ranah
ideologi dan tujuan, paradigma gerakan sosial baru dengan tegas mengatakan
bahwa gerakan sosial kontemporer menghadirkan perbedaan yang mendasar dengan
gerakan era masyarakat industri. Gerakan sosial kontemporer tidak lagi menyoal
redistribusi ekonomi, melainkan konsen dengan persoalan kualitas hidup (quality
of life) dan gaya hidup (life-style). Karena itulah, gerakan sosial baru
mempertanyakan tujuan yang berorientasi kesejahteraan materialistik masyarakat
industri, juga model demokrasi representatif yang telah membatasi peran dan
partisipasi warga negara dalam pemerintahan. Gerakan sosial baru lebih
mendorong bentuk-bentuk demokrasi langsung, kelompok-kelompok mandiri dan
kerjasama organisasi sosial. Nilai utama gerakan sosial baru adalah mengenai
otonomi diri dan identitas. Isu identitas dianggap sebagai keunikan dari
gerakan sosial kontemporer karena adanya pandangan bahwa “politik identitas”
mengungkapkan keyakinan mengenai identitas itu sendiri yaitu elaborasi,
ekspresi dan afirmasinya yang merupakan fokus mendasar dari kerja-kerja
politik. (h 414)
Namun, beberapa
penelitian lapangan—sebagaimana dikutip Pichardo- menemukan bahwa klaim
identitas dalam partisipasi gerakan sosial tidaklah linear dengan keberhasilan
gerakan. Klandermens, misalnya, mengemukakan bahwa keragaman identitas di dalam
gerakan perdamaian Belanda sebagai representasi dari beragam keanggotaan
organisasi malah pada gilirannya menyebabkan mereka meninggalkan gerakan itu
sendiri. Demikian juga data-data yang diperoleh oleh Pichardo dan Sullivan
Catlin serta Deane, mengenai gerakan lingkungan yang menurut temuan mereka
menghadirkan “keterputusan” antara identitas personal dengan keterlibatan
mereka di gerakan lingkungan, terutama antara praktik di gerakan dengan
aktivitas sehari-hari mereka. Dengan kata lain, apa yang diperjuangkan dalam
gerakan, banyak bertolak belakang dengan pilihan sehari-hari mereka. Dalam
konteks ini, klaim “politik identitas” yang bersumber dari pandangan mengenai
“personal is political” dalam beberapa hal masih perlu dikaji ulang.
Sedangkan taktik
yang dikembangkan oleh gerakan sosial baru mencerminkan orientasi ideologis
yang mereka usung. Karena gerakan sosial baru meyakini tidak representatifnya
karakter demokrasi modern, maka taktik mereka dalam menyiasati situasi ini
adalah membentuk organisasi yang tidak institusional. Gerakan sosial baru lebih
menyukai chanel-chanel di luar politik resmi dan memakai taktik pengacauan serta
memobilisir opini publik untuk meraih pengaruh politik. Di samping itu, mereka
lebih suka menampilkan aksi-aksi dramatik dengan mengenakan pakaian dan
representasi simbolik dalam aksi-aksi politiknya. Meskipun demikian, tidak
semua gerakan sosial baru menolak masuk dalam sistem. Beberapa gerakan sosial
baru malah membentuk sebuah partai politik dan terlibat dalam Pemilu, seperti
tampak pada The Greens. Ini menandakan bahwa generalisasi ciri-ciri gerakan
sosial baru menjadi tidak relevan. (h 415)
Dalam struktur
dan keorganisasian, gerakan sosial baru memilih bentuk yang tidak
institusional. Artinya mereka mengorganisir diri dengan gaya yang tidak rigid
dan cair. Mereka juga mengganti kepemimpinan secara rutin dan mengambil suara
secara komunal dalam menyikapi isu-isu yang dihadapi. Bentuk anti-birokrasi
yang mereka kembangkan merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap sistem
birokrasi modern yang tidak humanis juga untuk menghindari adanya kooptasi dan
intervensi kepentingan luar. Namun, tidak semua, gerakan sosial baru menerapkan
model ini. Beberapa kelompok seperti Gerakan Perempuan Nasional dan gerakan
lingkungan malah mengambil jalan sebaliknya, yaitu bersifat hirarkis dan
terpusat.(h 416)
Sedangkan di
keanggotaan, gerakan sosial baru bersifat lintas kelas. Menurut Offe ada tiga
sektor keanggotaan gerakan sosial baru. Pertama, kelompok kelas menengah baru,
kedua, elemen-elemen kelas menengah lama seperti petani, pedagang dan seniman.
Ketiga, kelompok “pinggiran” yang terdiri dari orang-orang yang tidak masuk
dalam pusaran pasar tenaga kerja, seperti pelajar dan mahasiswa, ibu rumah
tangga, serta para pensiunan. (h 417)
Dari uraian di
atas, menurut Pichardo menjadi jelas bahwa gerakan sosial baru tidaklah
benar-benar unik dan berbeda dari gerakan sebelumnya, karena ternyata banyak
pengecualian dari klaim-klaim yang ada. Klaim bahwa gerakan sosial baru
bersifat terbuka, demokratis, non-hirarki dan seterusnya, ternyata beberapa
kelompok yang digolongkan sebagai gerakan sosial baru seperti gerakan perempuan
dan lingkungan malah menerapkan ihwal yang sebaliknya, yaitu, hirarkis dan
sentralistik. Demikian pula yang lainnya sebagaimana yang diuraikan di atas.
Mengenai asumsi
kedua, gerakan sosial baru, produk khas masyarakat pos-industri, menurut
Pichardo ada dua mazhab pemikiran yang dominan mengenai hal ini. Pertama,
Mazhab Objektif dan kedua, Mazhab Subjektif. Mazhab Objektif lebih menekankan
faktor-faktor struktur sosial yang membentuk “kelas sosial baru” sebagai
kelompok-kelompok oposisi. Sedangkan, Mazhab Subjektif menekankan pada
perubahan sikap di tengah masyarakat yang pada gilirannya membentuk
kelompok-kelompok “sukarela”. Dalam bahasa Pichardo, Mazhab Objektif, dia sebut
dengan hipotesis “intrusi negara” (state intrusion) yaitu hipotesis kelompok
pos-Marxis yang menghubungkan kelahiran gerakan sosial baru dengan perubahan
akumulasi modal di era posmodern. Akumulasi modal di era posmodern telah
mendominasi kehidupan sosial, sehingga ruang sosial menjadi hanya semata-mata
pasar. Dalam konteks ini, negara yang sudah menjadi bagian dari rezim kapital,
melakukan ekspansi dengan membuat mekanisme koersif terhadap ruang
kewarganegaraan (civic sphere). Kondisi ini membuat masyarakat konsen dengan
gerakan “pertahanan diri” terhadap ekspansi negara dan pasar. (h 419)
Moffee
menambahkan bahwa akumulasi modal di ruang sosial itu pada gilirannya mencipta
pertama, komodifikasi kehidupan sosial (commodification of social life), di
mana kehidupan sosial tergantung pada pasar, kedua, birokratisasi, yang
merupakan hasil dari intervensi negara ke semua wilayah reproduksi sosial, dan
ketiga, massifikasi kebudayaan, yang merupakan efek dari pengaruh media massa
yang menghancur atau memodifikasi identitas-identitas kelompok. Bentuk-bentuk
subordinasi inilah, menurut Moffe yang menyemai lahirnya gerakan sosial baru
yang sarat dengan bentuk-bentuk perlawanan. (h 420)
Sedangkan Mazhab
Subjektif mempunyai dua macam prinsip. Pertama, hipotesis “pergeseran nilai”
(value shift) yang merupakan pokok persoalan bangsa-bangsa Barat karena perluasan
konteks ekonomi, politik dan masyarakatnya. Hipotesis ini menyatakan bahwa
orang-orang Barat telah melalui tahap aman ekonomi dan politik di era modern,
di mana kebutuhan pokok sudah terpenuhi dengan merata. Konfidensi ini pada
gilirannya menggeser opini publik dari perhatian terhadap isu-isu
ekonomi-politik ke wilayah perkembangan dan aktualisasi diri. Pandangan ini
menurut Pichardo didasari pada teori Maslow mengenai tahapan perkembangan
psikologi manusia. Karena itulah, gerakan sosial baru konsen dengan isu-isu
pos-material, seperti identitas, partisipasi, kualitas hidup dan lain
sebagainya. (h 421)
Kedua, hipotesis
tentang “seri protes” (cycle of protest). Hipotesis ini menyatakan bahwa
gerakan sosial baru merupakan manifestasi dari pola perputaran gerakan sosial.
Misalnya dikaitkan dengan ideologi anti-modern atau romantik terhadap
prinsip-prinsip fungsional, kontradiksi-kontradiksi dan alienasi modernitas. (h
422)
Namun, menurut
Pichardo, hipotesis-hipotesis dua mazhab ini terkesan tidak meyakinkan.
Hipotesis “intrusi negara”, menurutnya, tampak “gagal” saat mengurai secara
empiris keterkaitan antara tindakan negara dan kelahiran gerakan sosial baru.
Beberapa keterkaitan dua hal di atas hanya bisa digambarkan dalam kesimpulan
dengan memantapkan makna dan maksud dari tindakan-tindakan negara dengan
menghipotesiskan konsekuensi-konsekuensinya. Dengan kata lain, kesimpulan
tersebut banyak dibalut oleh interpretasi atas fakta-fakta yang umum, bukan
atas data-data yang spesifik.
Sedangkan,
hipotesis “pergeseran nilai” meskipun didasari pada penelitian empiris,
terkesan memaksakan. Pertama, perubahan nilai itu hanya terjadi pada kelas
tertentu: kelas menengah baru, bukan masyarakat secara luas. Kedua, pergeseran
nilai itu, dihubungkan dengan pertumbuhan dan meningkatnya kesejahteraan
negara-negara Barat. Pandangan ini, menurutnya, perlu verifikasi empiris,
karena beberapa kemungkinan penjelasan lainnya juga bisa muncul seperti
terjadinya birokratisasi masyarakat dan lain sebagainya. Ketiga, pergeseran
nilai itu juga belum mampu menjelaskan secara konkrit apakah hal tersebut
terjadi di dalam nilai-nilai privat atau publik. Keempat, terjadi harapan yang
kontradiktif. Dari temuan Boltken dan Jagodzinski menyatakan bahwa ada
ketidakstabilan responden antara orientasi nilai yang mereka tuju dengan
perilaku sehari-hari mereka. (h 422-423)
Demikian juga
halnya dengan hipotesis “seri protes” yang menyatakan bahwa gerakan sosial baru
merupakan salah satu titik dari pola putaran protes gerakan-gerakan sosial
secara umum. Klaim ini, menurut Pichardo malah bisa bermakna negatif, yaitu
model-model protes sebagaimana yang diusung oleh gerakan sosial baru bisa
berarti belum pernah ada sebelumnya. Padahal, kelas menengah dan pola-pola
protes yang dikembangkan dalam gerakan sosial baru, tentu tidak bisa dilepaskan
dari konteks historis lampau. Dengan kata lain, sebuah gerakan sosial tentu
memiliki jejak di masa sebelumnya, seperti yang tampak pada beberapa gugatan
Pichardo di atas. (h 424)
Dari telisikan Pichardo terhadap dua asumsi
dominan mengenai perbedaan gerakan sosial baru dengan gerakan sosial sebelumnya
telah menyajikan ke hadapan kita bahwa ciri-ciri gerakan sosial baru tidaklah
benar-benar diskontinue dengan gerakan sebelumnya. Selain isu identitas, tidak
ada perbedaan yang rigid di antara gerakan sosial lama dengan gerakan sosial
kontemporer, sebagaimana dikemukakan Pichardo.
By:
Ketua
Umum PMII komisariat al-ghozali cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar