Welcome to My Blog........

Kami akan membantu anda untuk menjadi orang sukses, trust it..!!!

Jumat, 30 Desember 2011

Teori Gerakan Kontemporer


Kritik Teori Gerakan Sosial Baru
Gerakan sosial baru (new social movements) memiliki perbedaan dengan pola dan bentuk gerakan sosial sebelumnya (old social movements). Menurut Samir Amin gerakan sosial lama bisa diklasifikasikan dalam dua tema. Pertama, perjuangan kelas (the theme of class struggle) yang berbasiskan organisasi kelas pekerja industri seperti persatuan dagang, serikat buruh, partai-partai yang mengusung ideologi sosialis maupun komunis, juga gerakan petani dan sejenisnya. Kedua, ideologi politik (the theme of political ideology) seperti pertarungan kanan konservatif dan kiri reformis. Menurutnya, dalam sejarah Asia dan Afrika, tema ini tampak pada polarisasi gerakan perjuangan mencapai kemerdekaan. Namun, kedua tema ini tampaknya tidak efektif. Di Eropa Timur, melahirkan rezim otoriter Uni Soviet dan di Barat dua tema ini direduksi serta dipolarisasi menjadi kanan-kiri. ( Amin, 1991:78)
Gerakan sosial baru dipandang sebagai respon terhadap masyarakat pos-industri, di mana isu-isu yang diusung bukan lagi mengenai redistribusi ekonomi sebagaimana yang tampak pada gerakan sosial lama, melainkan membidik isu-isu politik identitas dan kualitas hidup seperti gerakan lingkungan, perdamaian, perempuan dan lain sebagainya. Demikian juga aktor penggeraknya atau partisipannya, tidak lagi terkotak pada kelas pekerja dan petani melainkan meluas dengan melibatkan kelas menengah seperti mahasiswa, kaum intelektual, anak muda dan lain sebagainya. (Barker, 2000:125)
Menurut Rajendra Singh, ada empat ciri dari gerakan sosial baru, pertama, kebanyakan gerakan sosial baru menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh; ruang sosialnya telah mengalami penciutan dan yang ‘sosial’ dari masyarakat sipil tengah digerogoti oleh kontrol negara. Ekspansi negara dalam panggung kontemporer ini, bersesuaian dengan ekspansi pasar. Negara dan pasar dilihat sebagai dua institusi yang sedang menerobos masuk ke dalam seluruh aspek kehidupan warga. Dalam ketidakberdayaan ini, gerakan sosial baru, membangkitkan isu ‘pertahanan diri’ komunitas dan masyarakat guna melawan meningkatnya ekspansi aparatus negara dan pasar. Kedua, secara radikal gerakan sosial baru mengubah paradigma Marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah ‘kelas’ dan konflik kelas. Marxisme memandang perjuangan sebagai perjuangan kelas dan semua bentuk pengelompokan manusia sebagai pengelompokan kelas. Banyak perjuangan kontemporer seperti anti-rasisme, gerakan feminis, lingkungan, bukanlah perjuangan kelas dan juga bukan cerminan sebuah gerakan kelas. Pengelompokan mereka adalah lintas kelas. Ketiga, karena latar belakang kelas tidak menentukan identitas aktor atau pun penopang aksi kolektif, gerakan sosial baru, pada umumnya melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi akar rumput, kerap memprakarsai gerakan mikro kelompok-kelompok kecil, membidik isu-isu lokal dengan sebuah dasar institusi yang terbatas. Keempat, gerakan sosial baru didefinisikan dengan pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi dan oleh heterogenitas basis sosial mereka. (Singh, 2002)

Tulisan Nelson A. Pichardo yang bertajuk “New Social Movements: A Critical Review”, “menggugat” asumsi-asumsi umum mengenai perbedaan antara gerakan sosial lama dengan gerakan sosial kontemporer. Menurutnya, ada dua ciri menonjol yang sering dikemukakan oleh para pengamat mengenai perbedaan keduanya, yaitu pertama, gerakan sosial baru bersifat unik, terutama kalau dilihat dari ideologi, tujuan, taktik dan keorganisasian serta aktivisnya. Kedua, gerakan sosial baru merupakan produk masyarakat pos-industri, di mana isu-isu yang diusung bukan lagi mengenai redistribusi ekonomi, melainkan isu-isu politik identitas seperti hak-hak “minoritas”, subkultur, lingkungan, perdamaian, dan lain sebagainya.

Menguji Dua Asumsi
Benarkah gerakan sosial kontemporer itu unik? Apakah gerakan kontemporer itu merupakan produk khas era pos-industri?
Untuk mengurai yang pertama, Pichardo menelusuri secara komprehensif “citra” keunikan gerakan sosial baru di semua aspeknya, mulai dari ideologi dan tujuannya, taktik dan strateginya, struktur dan keorganisasiannya sampai aktivisnya. Menurut Pichardo, di ranah ideologi dan tujuan, paradigma gerakan sosial baru dengan tegas mengatakan bahwa gerakan sosial kontemporer menghadirkan perbedaan yang mendasar dengan gerakan era masyarakat industri. Gerakan sosial kontemporer tidak lagi menyoal redistribusi ekonomi, melainkan konsen dengan persoalan kualitas hidup (quality of life) dan gaya hidup (life-style). Karena itulah, gerakan sosial baru mempertanyakan tujuan yang berorientasi kesejahteraan materialistik masyarakat industri, juga model demokrasi representatif yang telah membatasi peran dan partisipasi warga negara dalam pemerintahan. Gerakan sosial baru lebih mendorong bentuk-bentuk demokrasi langsung, kelompok-kelompok mandiri dan kerjasama organisasi sosial. Nilai utama gerakan sosial baru adalah mengenai otonomi diri dan identitas. Isu identitas dianggap sebagai keunikan dari gerakan sosial kontemporer karena adanya pandangan bahwa “politik identitas” mengungkapkan keyakinan mengenai identitas itu sendiri yaitu elaborasi, ekspresi dan afirmasinya yang merupakan fokus mendasar dari kerja-kerja politik. (h 414)
Namun, beberapa penelitian lapangan—sebagaimana dikutip Pichardo- menemukan bahwa klaim identitas dalam partisipasi gerakan sosial tidaklah linear dengan keberhasilan gerakan. Klandermens, misalnya, mengemukakan bahwa keragaman identitas di dalam gerakan perdamaian Belanda sebagai representasi dari beragam keanggotaan organisasi malah pada gilirannya menyebabkan mereka meninggalkan gerakan itu sendiri. Demikian juga data-data yang diperoleh oleh Pichardo dan Sullivan Catlin serta Deane, mengenai gerakan lingkungan yang menurut temuan mereka menghadirkan “keterputusan” antara identitas personal dengan keterlibatan mereka di gerakan lingkungan, terutama antara praktik di gerakan dengan aktivitas sehari-hari mereka. Dengan kata lain, apa yang diperjuangkan dalam gerakan, banyak bertolak belakang dengan pilihan sehari-hari mereka. Dalam konteks ini, klaim “politik identitas” yang bersumber dari pandangan mengenai “personal is political” dalam beberapa hal masih perlu dikaji ulang.
Sedangkan taktik yang dikembangkan oleh gerakan sosial baru mencerminkan orientasi ideologis yang mereka usung. Karena gerakan sosial baru meyakini tidak representatifnya karakter demokrasi modern, maka taktik mereka dalam menyiasati situasi ini adalah membentuk organisasi yang tidak institusional. Gerakan sosial baru lebih menyukai chanel-chanel di luar politik resmi dan memakai taktik pengacauan serta memobilisir opini publik untuk meraih pengaruh politik. Di samping itu, mereka lebih suka menampilkan aksi-aksi dramatik dengan mengenakan pakaian dan representasi simbolik dalam aksi-aksi politiknya. Meskipun demikian, tidak semua gerakan sosial baru menolak masuk dalam sistem. Beberapa gerakan sosial baru malah membentuk sebuah partai politik dan terlibat dalam Pemilu, seperti tampak pada The Greens. Ini menandakan bahwa generalisasi ciri-ciri gerakan sosial baru menjadi tidak relevan. (h 415)
Dalam struktur dan keorganisasian, gerakan sosial baru memilih bentuk yang tidak institusional. Artinya mereka mengorganisir diri dengan gaya yang tidak rigid dan cair. Mereka juga mengganti kepemimpinan secara rutin dan mengambil suara secara komunal dalam menyikapi isu-isu yang dihadapi. Bentuk anti-birokrasi yang mereka kembangkan merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap sistem birokrasi modern yang tidak humanis juga untuk menghindari adanya kooptasi dan intervensi kepentingan luar. Namun, tidak semua, gerakan sosial baru menerapkan model ini. Beberapa kelompok seperti Gerakan Perempuan Nasional dan gerakan lingkungan malah mengambil jalan sebaliknya, yaitu bersifat hirarkis dan terpusat.(h 416)
Sedangkan di keanggotaan, gerakan sosial baru bersifat lintas kelas. Menurut Offe ada tiga sektor keanggotaan gerakan sosial baru. Pertama, kelompok kelas menengah baru, kedua, elemen-elemen kelas menengah lama seperti petani, pedagang dan seniman. Ketiga, kelompok “pinggiran” yang terdiri dari orang-orang yang tidak masuk dalam pusaran pasar tenaga kerja, seperti pelajar dan mahasiswa, ibu rumah tangga, serta para pensiunan. (h 417)
Dari uraian di atas, menurut Pichardo menjadi jelas bahwa gerakan sosial baru tidaklah benar-benar unik dan berbeda dari gerakan sebelumnya, karena ternyata banyak pengecualian dari klaim-klaim yang ada. Klaim bahwa gerakan sosial baru bersifat terbuka, demokratis, non-hirarki dan seterusnya, ternyata beberapa kelompok yang digolongkan sebagai gerakan sosial baru seperti gerakan perempuan dan lingkungan malah menerapkan ihwal yang sebaliknya, yaitu, hirarkis dan sentralistik. Demikian pula yang lainnya sebagaimana yang diuraikan di atas.
Mengenai asumsi kedua, gerakan sosial baru, produk khas masyarakat pos-industri, menurut Pichardo ada dua mazhab pemikiran yang dominan mengenai hal ini. Pertama, Mazhab Objektif dan kedua, Mazhab Subjektif. Mazhab Objektif lebih menekankan faktor-faktor struktur sosial yang membentuk “kelas sosial baru” sebagai kelompok-kelompok oposisi. Sedangkan, Mazhab Subjektif menekankan pada perubahan sikap di tengah masyarakat yang pada gilirannya membentuk kelompok-kelompok “sukarela”. Dalam bahasa Pichardo, Mazhab Objektif, dia sebut dengan hipotesis “intrusi negara” (state intrusion) yaitu hipotesis kelompok pos-Marxis yang menghubungkan kelahiran gerakan sosial baru dengan perubahan akumulasi modal di era posmodern. Akumulasi modal di era posmodern telah mendominasi kehidupan sosial, sehingga ruang sosial menjadi hanya semata-mata pasar. Dalam konteks ini, negara yang sudah menjadi bagian dari rezim kapital, melakukan ekspansi dengan membuat mekanisme koersif terhadap ruang kewarganegaraan (civic sphere). Kondisi ini membuat masyarakat konsen dengan gerakan “pertahanan diri” terhadap ekspansi negara dan pasar. (h 419)
Moffee menambahkan bahwa akumulasi modal di ruang sosial itu pada gilirannya mencipta pertama, komodifikasi kehidupan sosial (commodification of social life), di mana kehidupan sosial tergantung pada pasar, kedua, birokratisasi, yang merupakan hasil dari intervensi negara ke semua wilayah reproduksi sosial, dan ketiga, massifikasi kebudayaan, yang merupakan efek dari pengaruh media massa yang menghancur atau memodifikasi identitas-identitas kelompok. Bentuk-bentuk subordinasi inilah, menurut Moffe yang menyemai lahirnya gerakan sosial baru yang sarat dengan bentuk-bentuk perlawanan. (h 420)
Sedangkan Mazhab Subjektif mempunyai dua macam prinsip. Pertama, hipotesis “pergeseran nilai” (value shift) yang merupakan pokok persoalan bangsa-bangsa Barat karena perluasan konteks ekonomi, politik dan masyarakatnya. Hipotesis ini menyatakan bahwa orang-orang Barat telah melalui tahap aman ekonomi dan politik di era modern, di mana kebutuhan pokok sudah terpenuhi dengan merata. Konfidensi ini pada gilirannya menggeser opini publik dari perhatian terhadap isu-isu ekonomi-politik ke wilayah perkembangan dan aktualisasi diri. Pandangan ini menurut Pichardo didasari pada teori Maslow mengenai tahapan perkembangan psikologi manusia. Karena itulah, gerakan sosial baru konsen dengan isu-isu pos-material, seperti identitas, partisipasi, kualitas hidup dan lain sebagainya. (h 421)
Kedua, hipotesis tentang “seri protes” (cycle of protest). Hipotesis ini menyatakan bahwa gerakan sosial baru merupakan manifestasi dari pola perputaran gerakan sosial. Misalnya dikaitkan dengan ideologi anti-modern atau romantik terhadap prinsip-prinsip fungsional, kontradiksi-kontradiksi dan alienasi modernitas. (h 422)
Namun, menurut Pichardo, hipotesis-hipotesis dua mazhab ini terkesan tidak meyakinkan. Hipotesis “intrusi negara”, menurutnya, tampak “gagal” saat mengurai secara empiris keterkaitan antara tindakan negara dan kelahiran gerakan sosial baru. Beberapa keterkaitan dua hal di atas hanya bisa digambarkan dalam kesimpulan dengan memantapkan makna dan maksud dari tindakan-tindakan negara dengan menghipotesiskan konsekuensi-konsekuensinya. Dengan kata lain, kesimpulan tersebut banyak dibalut oleh interpretasi atas fakta-fakta yang umum, bukan atas data-data yang spesifik.
Sedangkan, hipotesis “pergeseran nilai” meskipun didasari pada penelitian empiris, terkesan memaksakan. Pertama, perubahan nilai itu hanya terjadi pada kelas tertentu: kelas menengah baru, bukan masyarakat secara luas. Kedua, pergeseran nilai itu, dihubungkan dengan pertumbuhan dan meningkatnya kesejahteraan negara-negara Barat. Pandangan ini, menurutnya, perlu verifikasi empiris, karena beberapa kemungkinan penjelasan lainnya juga bisa muncul seperti terjadinya birokratisasi masyarakat dan lain sebagainya. Ketiga, pergeseran nilai itu juga belum mampu menjelaskan secara konkrit apakah hal tersebut terjadi di dalam nilai-nilai privat atau publik. Keempat, terjadi harapan yang kontradiktif. Dari temuan Boltken dan Jagodzinski menyatakan bahwa ada ketidakstabilan responden antara orientasi nilai yang mereka tuju dengan perilaku sehari-hari mereka. (h 422-423)
Demikian juga halnya dengan hipotesis “seri protes” yang menyatakan bahwa gerakan sosial baru merupakan salah satu titik dari pola putaran protes gerakan-gerakan sosial secara umum. Klaim ini, menurut Pichardo malah bisa bermakna negatif, yaitu model-model protes sebagaimana yang diusung oleh gerakan sosial baru bisa berarti belum pernah ada sebelumnya. Padahal, kelas menengah dan pola-pola protes yang dikembangkan dalam gerakan sosial baru, tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks historis lampau. Dengan kata lain, sebuah gerakan sosial tentu memiliki jejak di masa sebelumnya, seperti yang tampak pada beberapa gugatan Pichardo di atas. (h 424)
Dari telisikan Pichardo terhadap dua asumsi dominan mengenai perbedaan gerakan sosial baru dengan gerakan sosial sebelumnya telah menyajikan ke hadapan kita bahwa ciri-ciri gerakan sosial baru tidaklah benar-benar diskontinue dengan gerakan sebelumnya. Selain isu identitas, tidak ada perbedaan yang rigid di antara gerakan sosial lama dengan gerakan sosial kontemporer, sebagaimana dikemukakan Pichardo.
 
 
By: Ketua Umum PMII komisariat al-ghozali cilacap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar