PENJAJAHAN
BARAT ATAS DUNIA ISLAM
DAN PERJUANGAN
KEMERDEKAAN NEGARA – NEGARA ISLAM
RENAISANS DI EROPA
Eropa
menghadapi tantangan yang sangat berat. Terutama kerajaan usmani yang perpusat
di Turki. Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam, berusaha
menaklukkan lautan, dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi oleh
kegelapan. Setelah christoper colombus menemukan benua amerika (1492 M) dan
vasco da gama menemukan jalan ke timur melalui tanjung harapan (1498 M), benua amerika
dan kepulauan hindia segera jatuh ke bawah kekuasaan eropa.
Eropa
menjadi maju dalam dunia perdagangan. L. stoddard menggambarkan, dengan sekejap
mata dinding laut itu berubah menjadi jalan raya dan eropa yang semula terpojok
segera menjadi yang dipertuankan di laut dan dengan demikian, yang dipertuan di
dunia. Perekonomian bangasa – bangsa eropa pun semakin maju karena daerah –
daerah baru terbuka baginya.
Tak lama
stelah itu, mulailah kemajuan barat melampaui kemajuan islam yang sejak lama
mengalami kemunduran. Kemajuan barat itu dipercepat oleh penemuan dan
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Penemuan mesin uap yang kemudian
melahirkan revolusi industri di eropa semakin memantapkan kemajuan mereka.
Teknologi perkepalan dan militer berkembang dengan pesat.
Eropa
menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdangan ke
seluruh dunia. Negeri – negeri islam yang pertama kali jatuh ke bawah kekuatan
eropa adalah negeri – negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan usmani,
Negeri – negeri islam yang pertama dapat dikuasai barat itu adalah negeri –
negeri islam di asia tenggara dan di anak benua india. Sementara, negeri –
negeri islam di timur tengah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan usmani,
baru diduduki eropa pada masa berikutnya.
PENJAJAHAN BARAT TERHADAP DUNIA ISLAM DI
ANAK BENUA INDIA DAN ASIA TENGGARA
Invasi Eropa
terhadap dunia Islam tidak pernah sama, tetapi selalu secara menyeluruh dan
efektif. Penetrasi Barat terhadap dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama
dilakukan oleh dua bangsa Eropa terkemuka, Inggris dan Perancis. Inggris
terlebih dahulu mencoba menguasai kerajaan Mughal India. Selama pertengahan
terakhir abad ke-18, para pedagang Inggris telah memantapkan diri di Benggali.
Rentang waktu antara 1798 – 1818, dengan perjanjian atau aksi militer,
pemerintahan kolonial Inggris tersebar ke seluruh India, kecuali lembah Indus,
yang baru menyerah pada tahun 1843 – 1849.
Sementara
itu Perancis merasa perlu memutuskan hubungan komunikasi antara Inggris di barat
dan India di timur. Oleh karena itu, pintu gerbang ke India, yakni Mesir
berhasil ditaklukkan dan dikuasai oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 M.
Alasan lain Perancis menaklukkan Mesir adalah untuk memasarkan hasil-hasil
industrinya. Mesir, di samping mudah dicapai dari Perancis juga dapat menjadi
sentral aktivitas untuk mendistribusikan barang-barang ke Turki, Syiria hingga
ke timur jauh.
Pada tahun
1799 M., Napoleon Bonaparte meninggalkan Mesir karena situasi politik yang
terjadi di negara tersebut. Ia kemudian menunjuk jenderal Kleber menggantikan
kedudukan Napoleon di Mesir. Dalam suatu pertempuran laut antara Inggris dan
Perancis, jenderal Kleber kalah dan meninggalkan Mesir pada tahun 1801 M., dan
di Mesir terjadi kekosongan kekuasaan.
Kekosongan
tersebut dimanfaatkan oleh seorang perwira Turki, Muhammad Ali dengan didukung
oleh rakyat, berhasil megambil alih kekuasaan dan mendirikan dinasti. Pada masa
itu Mesir sempat menegakkan kedaulatan dan melakukan beberapa pembeharuan,
namun pada tahun 1882 M. dapat ditaklukkan kembali oleh Inggris.
Faktor utama
yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negara-negara muslim adalah
ekonomi dan politik. kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkannya
membutuhkan bahan-bahan baku, di samping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan negeri-negeri tempat memasarkan hasil industri
mereka. Untuk menunjang perekonomian tersebut, kekuatan politik diperlukan
sekali. Akan tetapi persoalan agama seringkali terlibat dalam proses politik
penjajahan barat atas negeri-negeri muslim. Trauma Perang Salib masih membekas
pada sebagian orang barat, terutama Portugis dan Spanyol, karena kedua negara
ini dalam jangka waktu lama, berabad-abad berada di bawah kekuasaan
Islam.
India, pada
masa kemajuan kerajaan Mughal adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian.
Hal ini mengundang Eropa yang sedang mengalami kemajuan untuk berdagang ke
sana. Di awal abad ke-17 M, Inggris dan Belanda mulai menginjakkan kaki di
India. pada tahun 1611 M, Inggris mendapat izin menanamkan modal, dan pada
tahun 1617 M belanda mendapat izin yang sama.
Kongsi dagang
Inggris, British East India Company (BEIC), mulai berusaha menguasai wilayah
India bagian timur, ketika merasa cukup kuat. Penguasa setempat mencoba
mempertahankan kekuasaan dan berperang melawan Inggris. Namun, mereka tidak
berhasil mengalahkan kekuatan Inggris. Pada tahun 1803 M, Delhi, ibukota
kerajaan Mughal jatuh ke tangan Inggris dan berada di bawah bayang-bayang
kekuasaan Inggris. Tahun 1857 M, kerajaan Mughal dikuasai secara penuh, dan
raja yang terakhir dipaksa meninggalkan istana. Sejak itu India berada di bawah
kekuasaan Inggris yang menegakkan pemerintahannya di sana. Pada tahun 1879,
Inggris berusaha menguasai Afghanistan dan pada tahun 1899, Kesultanan Muslim
Baluchistan dimasukkan ke bawah kekuasaan India-Inggris.
Asia Tenggara,
negeri tempat Islam baru berkembang, yang merupakan daerah penghasil
rempah-rempah terkenal pada masa itu, menjadi ajang perebutan negara-negara
Eropa. Kerajaan-kerajaan Islam di wilayah ini lebih lemah dibandingkan dengan
kerajaan Mughal, sehingga lebih mudah ditaklukkan oleh bangsa Eropa.
Kerajaan Islam
Malaka yang berdiri pada awal abad ke-15 M di Semenanjung Malaya yang strategis
merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara setelah Samudera Pasai,
ditaklukkan Portugis pada tahun 1511 M. Sejak itu peperangan-peperangan antara
Portugis melawan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seringkali berkobar.
Pedagang-pedagang Portugis berupaya menguasai Maluku yang sangat kaya akan
rempah-rempah.
Pada tahun 1521
M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang. Spanyol berhasil menguasai
Filipina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti Kesultanan
Maguindanao, Buayan dan Kesultanan Sulu. Akhir abad ke-16 M, giliran Belanda,
Inggris, Denmark dan Perancis, datang ke Asia Tenggara. Namun, Perancis dan
Denmark tidak berhasil menguasai negeri di Asia Tenggara dan hanya datang untuk
berdagang. Kekuasaan politik negara-negara Eropa di negara-negara Asia
berlanjut terus hingga pertengahan abad ke-20.
KEMUNDURAN KERAJAAN USMANI DAN EKSPANSI BARAT KE TIMUR TENGAH
Kemajuan-kemajuan
Eropa dalam teknologi militer dan industri perang membuat kerajaan Usmani
menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi
nama besar Turki Usmani masih membuat Eropa segan untuk menyerang atau
menguasai wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam. Namun
kekalahan besar Turki Usmani dalam peperangan di Wina pada tahun 1683 M,
membuka mata Barat bahwa Turki Usmani telah benar-benar mengalami kemunduran
jauh sekali.
Sejak kekalahan
dalam peperangan Wina itu, kerajaan Turki Usmani menyadari akan kemundurannya
dan kemajuan Barat. Usaha-usaha pembaharuan mulai dilaksanakan dengan mengirim
duta-duta ke negara Eropa, terutama Perancis, untuk mempelajari kemajuan mereka
dari dekat. Pada tahun 1720 M, Celebi Muhamad diutus ke Paris dan
diinstruksikan untuk mengunjungi pabrik-parbik, benteng-benteng pertahanan dan
institusi-institusi lainnya. Ia kemudian memberi laporan tentang kemajuan
teknik, organisasi angkatan perang modern, dan kemajuan lembaga-lembaga sosial
lainnya. Laporan-laporan tersebut mendorong Sultan Ahmad III (1703 – 1730 M)
untuk memulai pembaharuan. Untuk tujuan itu, didatangkanlah ahli-ahli militer
Eropa, salah satunya adalah De Rochefort, Pada tahun 1717, ia datang ke
Istambul dalam rangka membentuk korps artileri dan melatih tentara Usmani dalam
ilmu-ilmu kemiliteran modern.
Usaha pembaruan
yang dilakukan tidak terbatas pada bidang milliter. Dalam bidang-bidang lain
pembaharuan juga dilaksanakan, seperti pembukaan percetakan di Istanbul pada
tahun 1737 M, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian juga
gerakan penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki, sebagaimana telah
dilakukan oleh para penguasa Abbasiyah ketika menerjemahkan buku-buku Yunani ke
dalam bahasa Arab.
Meskipun
demikian, usaha-usaha pembaharuan itu bukan saja gagal menahan kemunduran Turki
Usmani, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan. Penyebab kegagalan tersebut karena kelemahan raja-raja Turki Usmani karena
wewenangnya sudah menurun. Di samping itu, keuangan negara yang terus mengalami
kebangkrutan, tidak mampu menunjang usaha pembaharuan. Faktor terpenting yang
menyebabkan kegagalan usaha pembaharuan adalah karena ulama dan tentara
Yenissari yang sejak abad ke-17 M menguasai suasana politik kerajaan Turki
Usmani menolak pembaharuan.
Usaha pembaruan
Turki Usmani baru mengalami kemajuan setelah Sultan Mahmud II membubarkan
tentara Yenissari pada tahun 1826 M. Struktur kerajaan dirombak,
lembaga-lembaga pendidikan moderen didirikan, buku-buku Barat diterjemahkan,
siswa berbakat dikirim belajar ke Eropa, dan sekolah-sekolah kemiliteran
didirikan. Akan tetapi, meski banyak mendatangkan kemajuan, hasil yang
diperoleh dari gerakan pembaharuan tetap tidak berhasil menghentikan gerakan
Barat terhadap dunia Islam. Selama abad ke-18, Barat menyerang wilayah
kekuasaan Turki Usmani di Eropa Timur. Akhir dari serangan itu adalah
ditandatanganinya Perjanjian San Stefano (Maret 1878 M) dan perjanjian Berlin
(Juli 1878 M), antara kerajaan Turki Usmani dengan Rusia.
Ketika perang
dunia I meletus, Turki Usmani bergabung dengan Jerman yang kemudian mengalami
kekalahan. Akibat dari peristiwa itu kekuasaan kerajaan Turki semakin ambruk.
Partai Persatuan dan Kemajuan memberontak kepada Sultan dan dapat menghapuskan
kekhalifahan Usmani, kemudian membentuk Turki modern.
Di pihak lain,
satu demi satu daerah-daerah kekuasaan Turki Usmani di Asia dan Afrika
melepaskan diri dari Konstantinopel. Hal ini disebabkan timbulnya nasionalisme pada
bangsa-bangsa yang ada di bawah kekuasaan Turki. Bangsa Armenia dan Yunani yang
beragama Kristen berpaling ke Barat, memohon bantuan Barat untuk kemerdekaan
tanah airnya, bangsa Kurdi di pegunugan dan Arab di padang pasir dan
lembah-lembah juga bangkit untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa
Turki Usmani.
BANGKITNYA NASIONALISME DI DUNIA ISLAM
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa
telah menyadarkan umat Islam bahwa, mereka memang jauh tertinggal dari Eropa.
Hal ini dirasakan dan disadari pertama kali oleh Turki, karena kerajaan inilah
yang pertama dan utama dalam usaha menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu
memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banya belajar dari Eropa.
Usaha untuk
memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya didorong oleh dua faktor, yakni
pertama: permurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai
penyebab kemunduran Islam, seperti gerakan Wahhabiyah yang dipelopori oleh
Muhammad bin Abd al-Wahhab di Saudi Arabia, Syah Waliyullah di India dan
gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari
Aljazair. Kedua: Menimba gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu pengetahuan dari
Barat. Hal ini tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa
Turki dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan
dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa
mereka. Pelajar-pelajar India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.
Gerakan
pembaharuan itu, dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang
tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul
adalah gagasan Pan-Islamisme (Persatuan umat Islam Sedunia) yang pada awalnya
didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiayah. Namun, gagasan ini baru
disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaludin
al-Afghani. Al-Afghani-lah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan
dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk
memperingatkan dunia Islam akan hal tersebut dan melakukan usaha-usaha untuk
pertahanan. Umat Islam, menurutnya, harus meninggalkan
perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah panji bersama. Ia juga berusaha
membangkitkan semangat lokal dan nasional negeri-negeri Islam. Karena itu,
al-Afghani dikenal sebagai Bapak Nasionalisme dalam Islam.
Semangat
Pan-Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Hamid II, untuk mengundang
al-Afghani ke Istanbul. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan hangat dari
negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat demokrasi al-Afghani tersebut
menjadi duri bagi kekuasaan sultan, sehingga al-Afghani tidak diizinkan berbuat
banyak di Istanbul. Setelah itu, gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama
setelah Turki Usmani bersama sekutunya Jerman, kalah dalam Perang Dunia I dan
kekhalifahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal, tokoh yang justru mendukung
nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan.
Gagasan
nasionalisme yang berasal dari Barat tersebut masuk ke negeri-negeri Islam
melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat
oleh banyaknya pelajar Islam yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga
pendidikan barat yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada
mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam, karena dipandang
tidak sejalan dengan semangat uóuwaú al-Islamiyaú. Akan tetapi, gagasan ini
berkembang dengan cepat setalah gagasan Pan-Islamisme redup.
Di Mesir,
benih-benih nasionalisme tumbuh sejak masa al-Tahtawi dan Jamludin al-Afghani.
Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini adalah Ahmad Urabi
Pasha. Gagasan tersebut menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga
nasionalisme tersebut terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Hal itu terjadi di
Mesir, Syiria, libanon, Palestina, Irak, Bahrain, dan Kuwait. Semangat
persatuan Arab tersebut diperkuat pula oleh usaha barat untuk mendirikan negara
Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab.
Di India,
sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan
gerakan óilafaú juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali adalah salah seorang
pelopornya. Namun, gerakan ini pudar setelah usaha menghidupkan kembali
khilafah yang dihapuskan Mustafa Kemal tidak memungkinkan lagi. Yang populer
adalah gerakan nasionalisme, yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India.
Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula ditinggalkan sebagian besar
tokoh-tokoh Islam, karena kaum muslim yang minoritas tertekan oleh kelompok Hindu
yang mayoritas.
Persatuan antar
kedua komunitas besar Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu, umat
Islam di anak benua India tidak lagi semangat menganut nasionalisme, tetapi
Islamisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan
Komunalisme Islam disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi
Partai Kongres Nasional. Benih-benih gagasan Islamisme tersebut sebenarnya
sudah ada sebelum Liga Muslimin berdiri, yang disuarakan oleh Sayyid Ahmad
Khan, kemudian mengkristal pada masa Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.
KEMERDEKAAN NEGARA-NEGARA ISLAM DARI PENJAJAHAN
BARAT
Munculnya
gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik
merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara
merdeka. Dalam kenyataannya, partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri
dari kekuasaan penjajah. Perjuangan tersebut terwujud dalam beberapa bentuk
kegiatan antara lain:
1. Gerakan
politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata.
2. Pendidikan
dan propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi
kemerdekaan.
Negara
berpenduduk mayoritas Muslim yang pertama kali memproklamasikan kemerdekaannya
adalah Indonesia, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari
pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh Sekutu. Disusul oleh Pakistan
tanggal 15 Agustus 1947, ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India
kepada dua Dewan Konstitusi, satu untuk India dan satunya untuk Pakistan.
Tahun 1922,
Timur Tengah (Mesir) memperoleh kemerdekaan dari Inggris, namun pada tanggal 23
Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Pada tahun 1951 di
Afrika, tepatnya Lybia merdeka, Sudan dan Maroko tahun 1956, Aljazair tahun
1962. Semuanya membebaskan diri dari
Prancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara, Yaman selatan dan
Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia tenggara, Malaysia,
yang saat itu termasuk Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1957,
dan Brunai Darussalam tahun 1984 M.
Demikianlah,
satu persatu negeri-negeri Islam memerdekakan diri dari penjajahan. Bahkan,
beberapa diantaranya baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir,
seperti negera Islam yang dulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan,
Turkmenia, Kirghistan, Kazakhtan, Tasjikistan dan Azerbaijan pada tahun 1992
dan Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia pada tahun 1992 (Yatim,
2003:187-189).
Maka kesimpulannya :
Perang Salib
merupakan awal penetrasi Barat terhadap dunia Islam yang selanjutnya membawa
kaum muslimin berada dalam jajahan negara-negara Barat. Karena mulai dari
Perang Salib I inilah kaum muslimin banyak mengalami kerugian, baik kerugian
yang bersifat material seperti banyaknya wilayah Islam yang direbut Barat,
diduduki dan dikuasai, juga kerugian non material yang berupa mulai hilangnya
peradaban Islam dan mulai masuknya peradaban-peradaban Barat.
Penjajahan
Barat terhadap dunia Islam yang diawali dengan Perang Salib berlatar belakang
hal-hal berikut :
1. Mercenary
yaitu untuk mencari keuntungan negara Barat di negara-negara Islam.
2. Missionary
yaitu untuk menyebarkan agama Kristen pada negara-negara jajahannya.
3. Military
yaitu perluasan daerah militer.
Selain hal
diatas yang melatarbelakangi penjajahan Barat adalah faktor ekonomi dan
politik. Bentuk-bentuk penjajahan barat terhadap dunia Islam berupa
penyerangan, penaklukan, sehingga banyak wilayah-wilayah Islam yang jatuh ke
negara-negara Barat. Juga berupa
penindasan, penghisapan dan perbudakan.
Penjajahan
Barat ternyata membawa implikasi yang sangat luas terhadap perkembangan
peradaban Islam baik peradaban material yang berupa tehnologi baru, maupun
peradaban mental. Penjajahan Barat juga memicu
gerakan pembaharuan dalam Islam, yang mana bertujuan untuk memurnikan agama
Islam dari pengaruh asing dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu
pengetahuan Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar