Krisis
ekonomi yang bermula terjadi pada sekitar tahun 1997 telah membawa bangsa dan
negara Indonesia
ke dalam jurang kebinasaan. Krisis tersebut tidak hanya berdampak pada kegiatan
ekonomi semata tetapi kemudian menjadi efek domino dan menjalar juga pada
krisis di bidang lain. Krisis moral yang menyebabkan isu korupsi masih tetap
menjadi konsumsi utama para pejabat dan pengusaha yang telah kehilangan moral
mereka. Krisis akhlak yang mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa memalukan
yang tidak mencerminkan budaya dan kultur bangsa Indonesia yang terefleksikan dari
beredarnya puluhan bahkan ratusan video-video dan gambar-gambar foto porno yang
diperankan oleh anak-anak dan generasi bangsa ini. Krisis-krisis yang sangat
banyak tersebut pada akhirnya mengakibatkan Indonesia jatuh krisis
multidimensi. Ilustrasi ini memberikan gambaran kebenaran ungkapan bahwa
”kefakiran (kemiskinan) akan membawa kepada kekafiran.”
Krisis
multidimensi yang terjadi di Indonesia
tersebut secara umum dipicu oleh krisis ekonomi yang membuat bangsa ini
sekarat. Diawali dengan dilikuidasinya puluhan Bank-Bank yang beroperasi di Indonesia,
kasus kredit macet di beberapa Bank, dan kolusi serta korupsi dalam perBankan
membuat era orde baru harus mengakhiri masa hidupnya.
Krisis perBankan tanah air tersebut membuat gejolak perekonomian di Indonesia
kocar-kacir tidak karuan. Dalam situasi dan keadaan yang seperti ini,
masyarakat pada akhirnya menyadari akan pentingnya mencari dan mengembangkan
sistem ekonomi alternatif yang mampu mencegah terjadinya konsentrasi
kekayaan di tangan segelintir kelompok orang.
Beberapa
tahun kemudian, masyarakat mulai mengenal sistem perekonomian Syari’ah dan perBankan
Syari’ah yang pada akhirnya menjadi sangat populer hingga sekarang. Menjamurnya
Bank-Bank dan lembaga-lembaga keuangan Syari’ah lainnya di Indonesia ini pada
akhirnya berkembang dan mulai banyak dimintai oleh masyarakat. Meskipun
menggunakan label Syari’ah di belakangnya, di beberapa daerah tertentu perBankan
Syari’ah ternyata mampu masuk dan diterima oleh kalangan non-muslim. Ilustrasi
ini seolah menjadi pembenar ungkapan bahwa agama Syari’ah adalah rahmat bagi
semesta alam, bukan hanya untuk kaum muslimin semata.
Melihat
cukup pesatnya perkembangan perBankan Syari’ah di Indonesia tersebut pada
akhirnya mendorong penulis untuk menyusun makalah ini. Melalui makalah ini
penulis hendak memaparkan mengenai sistem perBankan Syari’ah, bagaimana sejarah
perkembangannya, serta hambtan-hambatan dalam pengembangannya ke depan di
Indonesia.
1. Pengertian Bank Syari’ah
dan sejarah perkembangannya di Indonesia
a. Pengertian Bank Syari’ah
Bank Syari’ah
sebenarnya di Indonesia
lebih populer disebut dengan istilah Bank syariah. Adapun pengertian Bank Syari’ah
adalah Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Syari’ah atau
Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan al Quran
dan Hadits (Antonio dan Perwataatmadja, 1999: 1). Pengertian syariah secara
harfiah adalah jalan Allah seperti yang ditunjukkan oleh al Quran dan as Sunnah
/ Hadits.
Selanjutnya,
yang dimaksud dengan prinsip-prinsip syariah di dalam pengertian ini adalah
prinsip-prinsip atau ketentuan mengenai hukum muamalat. Dalam ketentuan hukum
muamalat, prinsip utama muamalat ekonomi atau perBankan Syari’ahi adalah
menghindarkan diri dan menjauhkan diri dari unsur-unsur riba dengan
menggantinya dengan sistem bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. Riba secara
bahasa berarti al-ziyadah yang berarti tambahan. Sedangkan menurut istilahnya,
riba dalam pandangan Prof. Abdul Manannan, Ph.D. dalam bukunya ”Teori dan
Praktek Ekonomi Syari’ah” adalah perpanjangan batas waktu dan penambahan jumlah
peminjaman uang sehingga berjumlah begitu besar, sehingga pada akhir jangka
waktu peminjaman itu, si peminjam akan mengembalikan kepada orang yang
meminjamkan sejumlah dua kali lipat atau lebih darijumlah pokok yang
dipinjamkannya. Dan diantara konsep-konsep tersebut adalah konsep mudharabah,
musyarakah, murabahah, ijarah, wadiah dan lain-lain.
- Mudharabah yaitu perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha, dimana pihak pemilik modal menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan atas usaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan
- Musyarakah adalah konsep yang diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan Murabahah yaitu penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan Bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad di awal dan besarnya angsuran = harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah, 500 juta, margin Bank / keuntungan Bank 100 juta, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan nasabah
- Ijarah atau pure leasing adalah pemberian kesempatan kepada penyewa untuk mengambil kesempatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama (Antonio dan Perwataatmadja, 1999: 30). Sebagai contoh adalah pembiayaan mobil, pelanggan akan memasuki kontrak pertama dan memberikan harga sewa mobil tersebut pada kadar sewa yang telah dipersetujui untuk suatu tempo tertentu. Pada akhir tempo pembayaran, kontrak kedua akan dikuatkuasakan bagi pelanggan untuk membeli kendaraan tersebut pada harga yang telah dipersetujui
- Wadiah adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah b. Sejarah Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
b.
Sejarah Perbankan Syari’ah
PerBankan
Syari’ah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel Syari’ah,
karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai
gerakan fundamentalis. Perintisnya adalah Ahmad El Najjar.
Sistem pertama yang dikembangkan adalah mengambil bentuk sebuah Bank simpanan
yang berbasis profit sharing (pembagian laba / bagi hasil) pada tahun
1963. kemudian pada tahun ’70-an, telah berdiri setidaknya 9 Bank yang tidak
memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha
perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan
membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Baru
kemudian berdiri Syari’ahic Development Bank pada tahun 1974 disponsori oleh
negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Syari’ah, yang
menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk
negara-negara anggotanya dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada
syariah Syari’ah.
Kemudian
setelah itu, secara berturut-turut berdirilah sejumlah Bank berbasis Syari’ah
antara lain berdiri Dubai Syari’ahic Bank (1975), Faisal Syari’ahic Bank of
Sudan (1977), Faisal Syari’ahic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Syari’ahic Bank
(1979) Phillipine Amanah Bank (1973) berdasarkan dekrit presiden, dan Muslim
Pilgrims Savings Corporation (1983).
Di
Indonesia perBankan syariah baru muncul pertama pada tahun 1991 dengan
berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank Muamalat sempat terimbas
oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa
sepertiga dari modal awal. Kamudian, IDB memberikan suntikan dana sehingga pada
periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan Bank
syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun
1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang PerBankan serta lebih
spesifiknya pada Peraturn Pemerintah N0 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan
Rinsip Bagi Hasil. Sampai saat ini, pada tahun 2007, terdapat setidaknya 3
institusi Bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah
Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara Bank umum yang telah memiliki unit
usaha syariah adalah 19 Bank diantaranya merupakan Bank besar seperti Bank
Negara Indonesia (Persero)
dan Bank Rakyat Indonesia
(Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat,
saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Hanya saja, aset perBankan syariah
periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perBankan
(ringkasan berdasarkan sumber: E-book: Bank Indonesia, Cetak Biru
Pengembangan PerBankan Syariah di Indonesia, 2002; dan Sedangkan untuk
pertumbuhan asetnya, sistem perBankan Syari’ah telah mengalami pertumbuhan yang
cukup pesat sebesar 74% per tahun selama kurun waktu 1998 sampai 2002 (nominal
dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi 2.718 milyar pada tahun 2001). Dana
pihak ketiga telah meningkat dari Rp. 392 Milyar menjadi 1.806 milyar. (Bank Indonesia,
Cetak Biru Pengembangan PerBankan Syariah di Indonesia, 2002: 5). Volume
usaha mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 64,98 % pada periode
2001-2003, bahkan pada tahun 2004 pertumbuhannya mencapai 80,56 %. Dari sisi
ekspansi untuk pembiayaan meningkat sebesar 101,08 % dengan pertumbuhan dana
yang dihimpun dari pihak ketiga sebesar 85,33%.
Berdasarkan
perhitungan Bank Indonesia
sampai akhir November 2004 rasio antara pembiayaan dan penghimpunan dana
(financing to deposit ratio/FDR) mencapai 104,81 % dan ini merupakan angka
tertinggi bila dibandingkan dengan semua perBankan syariah di negara-negara
lain. Angka LDR (Loan Deposit Ratio) mencapai tingkat yang lebih tinggi
dibanding perBankan konvensional Indonesia yang mencapai rata-rata
sebesar 48 %.
- Realisasi Praktik Pembiayaan Bank Syari’ah Dalam Dunia Bisnis
Realisasi
praktek pembiayan Bank Syari’ah dalam dunia bisnis dalam rangka untuk
mendapatkan keuntungan pada dasarnya hampir sama dengan konsep Bank
konvensional. Bank Syari’ah sebagai sebuah Bank atau lembaga keungan menghimpun
dana dari para nasabahnya dengan melalui berbagai macam produknya (deposito,
tabungan, dll). Selanjutnya pihak Bank berperan sebagai kreditur menanamkan
dana yang diperolehnya tersebut dalam pembiayaan-pembiayaan tertentu yang
sesuai konsep syariah Syari’ah kepada nasabah debitor. Kemudian, dari hasil
keuntungan yang diperoleh oleh Bank tersebut melalui pembiayaannya, laba
tersebut dibagi dengan para nasabah sesuai perjanjian akad nishbah bagi
hasilnya. Semakin besar perolehan laba yang diterima oleh Bank Syari’ah itu,
maka semakin besar pula bagi hasil yang diterima para nasabah.
- Faktor-Faktor Penghambat Keberlangsungan Bank Syari’ah
Diantara
faktor penghambat keberlangsungan Bank Syari’ah adalah faktor kelemahan yang
terdapat di dalam Bank Syari’ah itu sendiri. Diantara faktor penghambat Bank Syari’ah
yaitu:
1. Dengan
sistem Syari’ahi atau syariah, maka Bank Syari’ah terlalu berprasangka baik
kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam Bank
Syari’ah adalah jujur. Dengan demikian Bank Syari’ah sangat rawan terhadap
mereka yang beritikad tidak baik, sehingga diperlukan usaha tambahan untuk
mengawasi nasabah yang menerima pembiayan dari Bank Syari’ah. Hal ini akan
menjadi hambatan berlangsungnya Bank Syari’ah jika Bank Syari’ah itu sering
kecolongan akan nasabah yang membandel dan nakal. Atau kalau tidak, maka Bank Syari’ah
itu justru karena terlalu hati-hatinya memilih nasabah, maka berakibat
sedikitnya keuntungan yang diperolehnya sehingga berimbas pada terhambatnya
laju pertumbuhan Bank Syari’ah itu sendiri.
2. Dengan
penerapan sistem bagi hasil, maka akan lebih diperlukan perhitungan-perhitungan
yang rumit terutama dalam menghitung bagian laba nasabah yang kecil-kecil dan
yang nilai simpanannya di Bank tidak tetap. Sehingga bisa terjadi potensi salah
hitung. Kesalahan hitung dalam proses rumit ini, apabila sering terjadi, maka
akan membuat para nasabah lari dari Bank Syari’ah tersebut.
3. Karena
Bank Syari’ah menerapkan bagi hasil, maka Bank Syari’ah lebih memerlukan tenaga
dan pikiran yang ekstra dibanding dengan Bank konvensional. Hal ini dimaksudkan
agar Bank Syari’ah tidak salah dalam menilai kelayakan suatu pembiayaan
tertentu. Dalam kasus ini sekali lagi, apabila Bank Syari’ah tidak
pandai-pandai menilai prospek dan kelayakan pembiayaannya maka bisa berakibat
kerugian terhadap pembiayaan itu dan secara otomatis berakibat kerugian pada Bank
Syari’ah itu sendiri.
4. Problematika
biaya dan profitabilitas. Bank Syari’ah bekerja dengan aturan yang sangat ketat
dan memilih investasi yang halal dan sesuai syariah saja. Implikasinya adalah Bank
Syari’ah harus melakukan supervisi dan terkadang mengelola secara
langsung operasional suatu proyek yang didanainya. Ini dilakukan untuk
mereduksi pengeluaran manajerial. Akibatnya, Bank Syari’ah harus memikul biaya
tambahan yang tidak pernah terdapat pada pembukuan Bank-Bank berasas bunga. Bank
Syari’ah pun harus mampu meminimalisir potensi kerugian dari investasi
mudarabahnya dan mengamankan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Bank-Bank riba. Hal ini menyebabkan Bank Syari’ah terdorong untuk
mencari proyek yang segera memberikan keuntungan. Long gestation project
(proyek dengan masa menunggu yang lama) dan proyek infrastruktur adalah
proyek-proyek yang kurang menarik minat perBankan Syari’ah, dimana Bank Syari’ah
harus membayar keuntungan yang besar setiap tahun terhadap simpanan (Irfan
Syauqi Beik, Msc, Problematika Bank Syari’ah. 5. Minimnya sumberdaya manusia yang memahami
secara komprehensif segala hal yang berkaitan dengan industri perBankan
syariah. Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi
penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
5. Belum
adanya suatu Bank Sentral Syariah sebagai penyokong selaiknya Bank Indonesia yang menjadi Bank-nya lembaga-lembaga
perBankan yang mampu memerankan diri seperti peran Bank Indonesia
tetapi dengan prinsip Syari’ah.
6. Belum
adanya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perBankan syariah.
- Prinsip perbankan syariah
Prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Syari’ah antara Bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum
yang dianut oleh sistem perBankan syariah antara lain:
- Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
- Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
- Syari’ah tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
- Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
- Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam Syari’ah. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perBankan syariah.
1. Produk perBankan syariah
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh Bank berbasis syariah antara lain:
Jasa untuk peminjam dana
- Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
- Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
- Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan Bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin Bank/keuntungan Bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
- Takaful (asuransi Syari’ah)
Jasa untuk penyimpan dana
- Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
- Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan Bank akan dibagikan antara Bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar