Peran kaum wanita
Setiap
memperingati hari Kartini tanggal 21 April selalu terlintas dalam benak tentang
nasib kaum wanita zaman dahulu. Kita masih ingat bahwa pada zaman jahiliyah,
waktu itu masyarakat Arab benar-benar amat bodohnya hingga mereka
mengesampingkan kaum wanita padahal kaum wanita adalah ibu yang melahizkan
kita. Mereka amat malu bila istri mereka yang sedang hamil melahirkan anak
perempuan. Hal itu dianggap membawa aib bagi keluarga. Setiap anak perempuan
yang lahir lantas dibunuh supaya tidak membikin malu. Dari sini tampak bahwa
anak perempuan tidak diberi hak untuk hidup dan berkembang. Sungguh malang
nasib anak perempuan waktu itu. Apa yang diperbuat oleh masyarakat Arab pada masa
itu tak luput dari kecaman Allah Swt. (QS. An Nahl : 58-59)
Pada
masa rasulullah Saw wanita diberikan hak yang sama dalam pemikiran dan peranan.
Khadijah, wanita yang pertama kali masuk Islam adalah seorang janda kaya raya.
Setelah menjadi isteri rasulullah ia mempunyai peranan penting yaitu membantu
secara langsung dengan mengorbankan seluruh harta bendanya untuk berjihad,
membiayai perjuangan rasulullah dalam menyiarkan dan menyebarluaskan agama
Islam.
Begitu
pula dengan isteri rasulullah yang lain yaitu Siti Aisyah, merupakan contoh
wanita yang memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan ilmu pengetahuan
Islam. Oleh rasulullah Saw biasanya Aisyah dijadikan sebagai juru berita dalam
banyak hal mengenai agama. Sebab keterangan yang diberikannya selalu dapat
diterima dan dapat memuaskan orang banyak.
Di
tanah air kita mengenal pahlawan-pahlawan wanita yang dengan gigih berjuang
untuk menegakkan kemerdekaan. Sebut saja Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien dengan
semangat jihad mereka berjuang mengusir kompeni yang menduduki bumi Nusantara.
Walau harus mengorbankan nyawa mereka tetap tak gentar membela dan
memperjuangkan kemerdekaan tanah air dan bangsa. Di samping kedua tokoh
tersebut nama Dewi Sartika dan R.A. Kartini tercatat sebagai tokoh wanita yang
memperjuangkan hak-hak kaum wanita dalam mengenyam pendidikan.
Hak-hak
kaum wanita untuk memperluas pengetahuan dan menduduki bangku sekolah waktu itu
tidak mereka dapatkan terutama bagi penduduk pribumi yang miskin. Cita-cita
luhur yang dilakukan dengan perbuatan nyata dalam membebaskan kaum wanita dan
memperjuangkan mereka memperoleh hak yang sama dengan kaum pria akhirnya
membuahkan hasil tetapi juga disertai dengan pengorbanan yang tak sedikit.
Mereka itu adalah para ibu yang juga merupakan pejuang.
Peran
kaum wanita sekarang ini boleh dibilang sejajar dengan kaum pria. Tak lagi
hanya berkutat pada dapur, sumur dan kasur. Untuk urusan-urusan tertentu
seperti urusan sosial kemasyarakatan, kesehatan maupun kemanusiaan bahkan
sampai dalam bidang politik dan kenegaraan pun kaum wanita sudah ada yang
berkecimpung di dalamnya. Memang, jika kita saksikan kemampuan kaum wanita
zaman sekarang sudah lebih berkembang di berbagai bidang. Dalam Al Qur’an juga
dijelaskan ada tokoh wanita yang mempunyai kemampuan dalam bidang politik dan
kenegaraan.
“Sesungguhnya
aku dapati seorang perempuan (ratu) yang memerintahi mereka (namanya Bulqis)
sedang dia mempunyai segala sesuatu dan tahta kerajaan yang besar”. (QS. An
Naml : 23).
Jadi
sekarang ini kaum wanita mempunyai kebebasan yang luas dalam menuntut ilmu,
bebas menentukan langkah-langkahnya dalam mencapai cita-cita, bebas mengambil
peran di masyarakat dan bebas berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai
bidang. Karena mempunyai hak yang sama maka tak ada salahnya jika kaum wanita
turut serta berpartisipasi dalam mengisi pembangunan. Sudah bukan saatnya jika
kaum wanita hanya membicarakan masalah seputar hak-hak mereka saja di mata kaum
pria. Semestinya kaum wanita lebih memfokuskan diri pada hal-hal atau perbuatan
nyata, dengan aktivitas yang bermanfaat dan memberikan hasil yang patut
diacungi jempol. Tidak hanya ngerumpi di sana sini dengan membicarakan hal-hal
yang tiada bermanfaat.
Kaum
wanita harus mampu mengambil perannya masing-masing dengan ilmu pengetahuan dan
kemampuan yang dimilikinya. Apalagi jika perannya itu diwujudkan dalam
pengabdian semata-mata karena Allah, bukan karena untuk diakui kedudukannya
agar sama dengan kaum pria. Pengabdiannya harus sesuai dengan fitrah, harkat
dan martabatnya sebagai wanita karena Allah Swt telah menggariskan batas-batas
bahwa antara pria dan wanita mempunyai kedudukan yang berbeda.
“…….(Hak-hak)
untuk perempuan seumpama (kewajiban) yang di atas pundaknya, secara ma’ruf dan
untuk laki-laki ada kelebihan satu derajat dari perempuan. Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al Baqarah : 228).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar