A.Perbedaan cara pengajaran Al-qur’an dan Hadits
Al-qur’an dan Hadits adalah sama-sama
dasar pedoman hukum Islam yang mana keduanya memiliki banyak perbedaan, oleh
karena itu cara pengajaran dalam Al-qur’an dan hadits juga berbeda. Adapun
diantaranya adalah :
1. pengajar Al-qur’an tidak disyaratkan
adanya ijazah dari seorang guru, walaupun orang tersebut mahir dan pandai
didalam mengajarkan Al-qur’an dengan usahanya sendiri yakni tanpa adanya
bimbingan dari seorang guru, maka orang tersebut boleh mengajarkan Al-qur’an.
Sedangkan Hadits disyaratkan untuk adanya ijazah dari seorang guru jikalau
seseorang itu ingin mengajarkan sebuah hadits kepada orang lain, jadi tidak
boleh seseorang mengajarkan Hadits tanpa adanya ijazah dari seorang guru.
2. Pengajaran Al-qur’an tidak
disyaratkan adanya rawi dalam mengajarkan atau membacakan surah-surah atau
ayat-ayat dalam Al-qur’an disebabkan keotentikan daripada Al-qur’an itu sendiri
jadi tidak ada kehawatiran akan adanya kesalahan tulisan atau lafadz dalam
surah atau ayat Al-qur’an sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hijr ayat 9 :
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحا فظون
Sedangkan dalam Hadits
disyaratkan adanya rawi ketika seseorang ingin mengajarkan atau membacakan
sebuah Hadits kepada orang lain, jadi walaupun orang tersebut sudah mendapatkan
ijazah untuk membacakan atau mengajarkan suatu Hadits tapi tanpa menyebutkan
rawinya maka tidak sah, disebabkan ketakutan atau kehawatiran terjadinya suatu yang
bukan Hadits tetapi dianggap Hadits atau mengatasnamakan sesuatu yang tidak
pernah dikatakan oleh Nabi atas nama Nabi karena tidak adanya suatu keterangan
atau kejelasan bahwa Hadits itu terjaga keotentikannya sebagaimana Al-qur’an.
B. Ijazah dalam
pengajaran Al-qur’an
Mempelajari
Al-Quran termasuk cara membacanya memang tak semudah membalikkan telapak
tangan. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, dibutuhkan seorang guru khusus
yang benar-benar mempunyai kemampuan dan otoritas (ijazah) pengajaran Al-Quran.
Sebab proses pembelajaran Al-Quran menyaratkan adanya talaqqi (pertemuan guru –
murid secara langsung) dalam prosesnya.
Sebab para
ulama ahlul Quran meyakini, satu-satunya orang yang bisa membaca Al-Quran
dengan fasih dan memahami isinya dengan benar adalah Rasulullah SAW yang
mendapat pengajaran langsung dari malaikat Jibril. Sementara tingkat kebenaran
bacaan orang-orang selain Rasulullah paling bagus hanya mendekati kefasihan
beliau saja. Itu pun jumlahnya tidak banyak. Pengakuan akan ketepatan cara
membaca Al-Quran tersebut harus mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW.
Itulah sebabnya, meski pada zaman Rasulullah
banyak sahabat yang hafal Al-Quran, tetapi hanya beberapa orang saja yang
mendapat mandat untuk mengajarkan Al-Quran. Artinya hanya mereka inilah yang
bacaan Al-Qurannya diakui nyaris sempurna sehingga layak mengajari orang lain.
Demikian pula
pada generasi berikutnya yang belajar langsung kepada Sahabat Nabi. Meskipun
jumlah murid mereka dari kalangan tabiin cukup banyak, namun hanya sebagian
kecil saja yang diberi otoritas (ijazah) untuk mengajarkan cara membaca
Al-Quran. Demikian seterusnya pada generasi tabiut tabiin dan generasi-generasi
sesudahnya hingga zaman modern yang terus menjaga ketersambungan silsilah
sanadnya. Mereka inilah yang biasa disebut ulama ahlul Quran.
Bagaimana dengan
murid-murid lain yang juga menyelesaikan pelajarannya, namun tidak sampai
mendapat ijazah pengajaran Al-Quran. Tentu saja mereka tetap boleh menularkan
ilmunya, meski tentu nilai keberkahannya tidak sama dengan yang mendapat ijazah
pengajaran Al-Quran. Paling tidak, dari mereka bisa dipelajari cara membaca
Al-Quran dengan benar, karena mereka juga mendapatkannya dari guru-guru yang
memiliki ijazah pengajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar