Welcome to My Blog........

Kami akan membantu anda untuk menjadi orang sukses, trust it..!!!

Kamis, 29 Desember 2011

PERBEDAAN AL-QUR’AN DAN HADITS




A.Perbedaan cara pengajaran Al-qur’an dan Hadits
            Al-qur’an dan Hadits adalah sama-sama dasar pedoman hukum Islam yang mana keduanya memiliki banyak perbedaan, oleh karena itu cara pengajaran dalam Al-qur’an dan hadits juga berbeda. Adapun diantaranya adalah :
1.      pengajar Al-qur’an tidak disyaratkan adanya ijazah dari seorang guru, walaupun orang tersebut mahir dan pandai didalam mengajarkan Al-qur’an   dengan usahanya sendiri yakni tanpa adanya bimbingan dari seorang guru, maka orang tersebut boleh mengajarkan Al-qur’an. Sedangkan Hadits disyaratkan untuk adanya ijazah dari seorang guru jikalau seseorang itu ingin mengajarkan sebuah hadits kepada orang lain, jadi tidak boleh seseorang mengajarkan Hadits tanpa adanya ijazah dari seorang guru.
2.      Pengajaran Al-qur’an tidak disyaratkan adanya rawi dalam mengajarkan atau membacakan surah-surah atau ayat-ayat dalam Al-qur’an disebabkan keotentikan daripada Al-qur’an itu sendiri jadi tidak ada kehawatiran akan adanya kesalahan tulisan atau lafadz dalam surah atau ayat Al-qur’an sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hijr ayat 9 :    
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحا فظون
Sedangkan dalam Hadits disyaratkan adanya rawi ketika seseorang ingin mengajarkan atau membacakan sebuah Hadits kepada orang lain, jadi walaupun orang tersebut sudah mendapatkan ijazah untuk membacakan atau mengajarkan suatu Hadits tapi tanpa menyebutkan rawinya maka tidak sah, disebabkan ketakutan atau kehawatiran terjadinya suatu yang bukan Hadits tetapi dianggap Hadits atau mengatasnamakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh Nabi atas nama Nabi karena tidak adanya suatu keterangan atau kejelasan bahwa Hadits itu terjaga keotentikannya sebagaimana Al-qur’an.

 B. Ijazah dalam pengajaran Al-qur’an
Mempelajari Al-Quran termasuk cara membacanya memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, dibutuhkan seorang guru khusus yang benar-benar mempunyai kemampuan dan otoritas (ijazah) pengajaran Al-Quran. Sebab proses pembelajaran Al-Quran menyaratkan adanya talaqqi (pertemuan guru – murid secara langsung) dalam prosesnya.
Sebab para ulama ahlul Quran meyakini, satu-satunya orang yang bisa membaca Al-Quran dengan fasih dan memahami isinya dengan benar adalah Rasulullah SAW yang mendapat pengajaran langsung dari malaikat Jibril. Sementara tingkat kebenaran bacaan orang-orang selain Rasulullah paling bagus hanya mendekati kefasihan beliau saja. Itu pun jumlahnya tidak banyak. Pengakuan akan ketepatan cara membaca Al-Quran tersebut harus mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW.
 Itulah sebabnya, meski pada zaman Rasulullah banyak sahabat yang hafal Al-Quran, tetapi hanya beberapa orang saja yang mendapat mandat untuk mengajarkan Al-Quran. Artinya hanya mereka inilah yang bacaan Al-Qurannya diakui nyaris sempurna sehingga layak mengajari orang lain.
Demikian pula pada generasi berikutnya yang belajar langsung kepada Sahabat Nabi. Meskipun jumlah murid mereka dari kalangan tabiin cukup banyak, namun hanya sebagian kecil saja yang diberi otoritas (ijazah) untuk mengajarkan cara membaca Al-Quran. Demikian seterusnya pada generasi tabiut tabiin dan generasi-generasi sesudahnya hingga zaman modern yang terus menjaga ketersambungan silsilah sanadnya. Mereka inilah yang biasa disebut ulama ahlul Quran.
Bagaimana dengan murid-murid lain yang juga menyelesaikan pelajarannya, namun tidak sampai mendapat ijazah pengajaran Al-Quran. Tentu saja mereka tetap boleh menularkan ilmunya, meski tentu nilai keberkahannya tidak sama dengan yang mendapat ijazah pengajaran Al-Quran. Paling tidak, dari mereka bisa dipelajari cara membaca Al-Quran dengan benar, karena mereka juga mendapatkannya dari guru-guru yang memiliki ijazah pengajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar